Jelas ada yang tidak beres dengan manajemen pemerintah DKI Jakarta dalam mengelola aset tanah mereka. Berkali-kali mereka kehilangan aset tersebut. Dari yang bikin malu, yaitu membeli aset milik sendiri lebih dari Rp 650 miliar di Cengkareng Barat, Jakarta Barat, pada tahun lalu, sampai ancaman terbaru: kehilangan kawasan kantor Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat) Jakarta Timur.
Biro Hukum Pemerintah DKI mencatat, dari 22 perkara sengketa tanah yang sudah berkekuatan hukum tetap hingga akhir tahun lalu, pemerintah kalah dalam sepuluh kasus. Dan nilai kekalahan itu sangat besar. Dari nilai total aset tanah Rp 295 triliun, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menghitung nilai aset pemerintah DKI berupa lahan yang masih dalam sengketa mencapai Rp 7,9 triliun hingga 2014. Total luas lahan sengketa itu mencapai 1,5 juta meter persegi.
Kekalahan beperkara di pengadilan itu sering disebabkan oleh hal yang konyol: pemerintah tak bisa menunjukkan bukti sertifikat asli. Bagaimana mungkin pemerintah DKI, yang sangat yakin telah membeli lahan, justru tak menyimpan sertifikat tanah yang disengketakan? Dalam kasus sengketa lahan di Kramatjati, Jakarta Timur, misalnya, pemerintah yang tak bisa menunjukkan bukti asli akhirnya kalah di tingkat peninjauan kembali. Belakangan diketahui sertifikat asli lahan tersebut ternyata ada di tangan anak lurah.
Berbagai kejadian naif itu menunjukkan bahwa sistem pengarsipan sertifikat tanah di DKI sangatlah buruk. Kerja amatiran seperti itu akan mengundang mafia-mafia tanah, yang gentayangan di mana-mana, memanfaatkan situasi. Mereka bisa bermain mata dengan oknum pegawai pemerintah. Atau seperti pada kasus penjualan aset tanah di Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, mereka bersekongkol dengan petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Setelah mendapat sertifikat, para mafia itu leluasa menjualnya ke pihak ketiga untuk mengejar keuntungan berkali lipat. Kalaupun masuk pengadilan, mereka yang mengklaim aset pemerintah sebagai milik pribadi itu sengaja menempuh jalur hukum ini untuk mengincar uang ganti rugi atau kompensasi dari pemerintah DKI. Modus ini berkali-kali sukses karena kelemahan sistem administrasi dan dokumen aset DKI.
Semua kelemahan itu semestinya membuat DKI mengevaluasi diri. Tak perlu Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) serta Biro Hukum DKI saling tuding. BPKAD tak perlu menyebut Biro Hukum tak becus membela di pengadilan. Sebaliknya, Biro Hukum tak usah menuding BPKAD ceroboh menyimpan sertifikat tanah. Ketimbang saling tunjuk, dua lembaga yang sama-sama tak becus itu lebih baik memperbaiki diri.
Sudah tepat BPKAD menempuh langkah inventarisasi aset hingga tingkat kelurahan. Begitu pula ajakan kerja sama dengan kejaksaan serta BPN untuk mengamankan aset. Hal lain yang juga penting dilakukan adalah memperbaiki sistem pengelolaan aset secara profesional dan transparan serta menegakkan hukum secara tegas terhadap aparat yang bersekutu dengan para mafia.