Putu Setia
@mpujayaprem
Dimas Kanjeng Taat Pribadi punya tujuh mahaguru, demikian istilah yang diperkenalkannya. Ketujuh mahaguru tugasnya hanya duduk mendampingi Dimas Kanjeng saat memberikan wejangan kepada pengikutnya. Para mahaguru itu meyakinkan dalam hal perwajahan. Dibalut jubah hitam, hampir semuanya memelihara jenggot dengan raut wajah kekurangan gizigambaran wajah para spiritual yang karena hidup disiplin dengan kesederhanaan mukanya jadi kurang cerah. Sekali mendampingi Dimas, masing-masing mahaguru mendapat bayaran Rp 2-15 juta. Luar biasa!
Ternyata mahaguru itu palsu. Kata palsu ini diucapkan polisi, yang berhasil menangkap tujuh orang itu di rumah petaknya masing-masing di metropolitan Jakarta. Profesi mereka semuanya penganggur. Kalaupun ada yang bekerja, itu di sektor informal sebatas menjadi pemulung. Mereka tak menguasai ilmu agama, mengaji pun tak pernah.
Tapi Dimas menyulap mereka menjadi mahaguru. Dengan kawalan mahaguru itu, apa pun yang diucapkan Dimas kepada pengikutnya mendapatkan legitimasi. Dimas menyebutkan bisa menggandakan uang, pengikutnya percaya setelah mahaguru mengangguk. Lempengan bata merah disebutkan bisa menjadi emas batangan dan pengikut Dimas percaya setelah mahaguru mengangkat tangannya tanda membenarkan. Pengikut Dimas bukan orang bodoh, bukan juga miskin harta. Mereka berpendidikan dan ada yang kaya raya sampai punya harta miliaran rupiah, namun tetap mau digandakan. Ketua yayasan yang menaungi padepokan Dimas di Probolinggo itu juga bukan orang sembarangan, dia seorang cendekiawan doktor lulusan Amerika.
Sementara itu, di sudut kawasan yang lain, banyak orang berpenampilan agamis, berjubah dengan jenggot maupun tidak. Lewat busananya mereka menampilkan diri sebagai orang spiritual yang sarat ilmu agama. Mereka mengumandangkan kebesaran Tuhan dengan teriakan lantang, tangan mengepal ke atas atau menuding, lalu kata yang keluar: "tangkap dia, tahan dia, bunuh dia." Keagungan Tuhan dengan ciri welas asih, pemaaf, pemurah, penuh kedamaian terkuburkan. Mereka ini bukan gelandangan seperti mahaguru Dimas Kanjeng. Mobilnya saja Pajero atau Alphard.
Orang-orang kagum dan langsung mengiyakan apa yang mereka katakan itu sebagai kebenaran. Orang cepat terpesona oleh penampilan. Sebelum polisi menciduk Dimas Kanjeng karena kasus pembunuhan dan penipuan, tak seorang pun pula yang meragukan kewibawaan mahaguru Dimas, apalagi menyebutnya palsu. Artinya, sepanjang mereka pandai berakting dan belum ada tindakan pidana, tak akan ada yang memberi cap palsu.
Tampaknya ada perubahan dalam memilih pemimpin dan mempercayai seseorang di era hiruk-pikuk media sosial ini. Orang yang disukai adalah orang yang berani, orator ulung, nabrak sana nabrak sini, bukan yang kalem dan "biasa-biasa saja". Wakil rakyat yang dipuji adalah mereka yang ikut dalam aksi demo, berorasi di jalanan disambut acungan tangan mengepal dari massa. Seharusnya wakil rakyat itu digaji untuk berorasi di gedung parlemen, mengawasi jalannya pemerintahan.
Jika ada ulama memberi wejangan dari rumahnya lewat tulisan atau lisan, tak ada yang mendengarkan. Yang didengar adalah mereka yang berteriak di atas mobil di lautan massa dengan nada kemarahan. Donald Trump memenangi pemilihan presiden di Amerika Serikat karena ia berkampanye mengobarkan rasisme dan pengetatan imigrasi. Nadanya marah dan warga Amerika merasa dilindungi oleh kampanye Trump ini.
Dunia sepertinya akan tetap riuh dengan kemarahan, setelah ini. Juga di negeri ini.