Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Jebakan Target Inflasi Bank Sentral

image-profil

image-gnews
Iklan

Tri Winarno
Peneliti Senior Bank Indonesia

Berbagai bank sentral utama dunia sedang menghadapi satu masalah: pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah telah mengalami akselerasi, tetapi inflasi gagal lepas landas. Tentu saja, pertumbuhan tanpa inflasi adalah suatu kombinasi ideal bagi setiap orang. Namun bank sentral utama dunia telah memasang target pencapaian inflasi di bawah tetapi dekat dengan 2 persen, seperti Bank Sentral Eropa, bank sentral Jepang, dan bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/The Fed). Pada saat ini jelas terlihat mereka kesulitan bagaimana caranya mencapai target tersebut, padahal likuiditas sudah digelontorkan ke pasar secara besar-besaran.

Pada 2009, ketika pasar uang global limbung dan perekonomian dunia terjun bebas, The Fed mengambil langkah drastis, yaitu melakukan pembelian aset dengan skala masif untuk memompa likuiditas lebih kencang lagi-yang dikenal sebagai program kebijakan moneter pelonggaran kuantitas uang (quantitative easing/QE). Kemudian, selama 2014-2015, Bank Sentral Eropa melakukan langkah serupa tatkala deflasi menghantui Uni Eropa.

Langkah The Fed telah membantu menstabilkan pasar keuangan global. Bank Sentral Eropa juga mengklaim langkahnya telah menormalkan pasar keuangan. Namun pengaruhnya terlihat hanya berhenti sampai di situ.

Dampak dari akselerasi ekonomi adalah pengetatan di pasar tenaga kerja, yang seharusnya berimbas pada peningkatan upah pekerja dan akhirnya akan ditransmisikan pada kenaikan harga barang dan jasa. Tapi mekanisme itu, yang dikenal sebagai fenomena "Phillips curve", tampaknya tidak berlaku dalam kasus ini. Misalnya di AS dan Jepang, walaupun tingkat pengangguran sangat rendah, upah tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Kalaupun ada sedikit kenaikan upah, sebagaimana yang terjadi di AS, tidak berdampak pada inflasi.

Alasan fundamental fenomena tersebut belum dapat dimengerti dengan baik. Tahun lalu, rendahnya harga minyak ditengarai sebagai penyebab tak adanya pengaruh pertumbuhan pada inflasi. Namun, tatkala harga minyak mulai pulih, inflasi tetap rendah, tak ada tanda-tanda terangkat ke atas. Alasan lainnya, harga barang dan jasa cenderung turun terus karena diproduksi semakin efisien di negara-negara yang upah tenaga kerjanya relatif murah. Selain itu, margin keuntungan pengecer saat ini semakin turun karena kompetisi yang semakin tajam dengan penjualan lewat Internet.

Seolah-olah sekarang muncul fenomena "inflasi yang hilang" (missing inflation), khususnya untuk kasus Uni Eropa dan Jepang. Karena Bank Sentral Jepang (BOJ) dan bank sentral Eropa (ECB) mendefinisikan kesuksesannya dari pencapaian target inflasi, mereka kini mengalami kebingungan. ECB, khususnya, harus tetap melanjutkan kebijakan ekspansi moneternya, yang meliputi pelonggaran kuantitas moneter, sampai terlihat kenaikan inflasi yang signifikan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagi The Fed, permasalahannya relatif ringan. Inflasi Amerika kini lebih tinggi daripada Uni Eropa dan Jepang. Di samping itu, The Fed punya mandat ganda: stabilitas harga dan penyerapan tenaga kerja optimal. Setelah tercapainya tenaga kerja penuh, The Fed dapat mendeklarasikan setengah kemenangan dan secara bertahap mulai meningkatkan suku bunganya.

Namun ada alasan lain mengapa fenomena "missing inflation" lebih bermasalah di Uni Eropa. Selama masa gelembung ekonomi terjadi di sana sebelum krisis 2008, harga dan upah meningkat cukup tajam di negara-negara pinggiran Eropa, relatif terhadap Jerman, sehingga negara-negara tersebut semakin tidak kompetitif. Begitu aliran dana asing masuk terhenti ke negara-negara itu, negara tersebut semakin tertekan dan mengharuskan mereka meningkatkan ekspor.

Sekarang Jerman berada pada tingkat tenaga kerja penuh, tetapi upah tidak meningkat lebih dari 2 persen-jauh lebih rendah daripada kenaikan upah sebesar 5 persen yang pernah dialami Jerman selama hampir 30 tahun. Lambatnya inflasi Jerman berdampak semakin tingginya surplus transaksi berjalan, yang juga berdampak semakin buruknya daya saing negara-negara Uni Eropa pinggiran relatif terhadap Jerman.

Masalahnya bukan pada target inflasi 2 persen. Kebijakan pelonggaran kuantitas moneter (QE) adalah kebijakan darurat. Padahal saat ini konstelasi ekonomi Uni Eropa berbeda jauh dari beberapa tahun yang lalu: pasar keuangannya telah membaik dan normal, kondisi pendanaan tersedia memadai, dan ekonomi mulai mengalami ekspansi.

Presiden ECB Mario Draghi baru-baru ini menyatakan dinamika reflasi bertahan lama dan rendah menandakan bahwa target inflasi 2 persen untuk Uni Eropa sulit dicapai. Pasar menyimpulkan bahwa, dengan perkembangan saat ini, program tingkat bunga negatif dan pembelian aset tidak lagi dapat diteruskan. ECB dengan cepat menyangkal interpretasi pasar tersebut, sehingga pasar normal kembali.

Sebenarnya ECB dapat menyatakan bahwa kebijakan moneternya telah berhasil melawan deflasi sehingga ECB dapat segera keluar dari kebijakan daruratnya. Namun hal ini dilematis bagi ECB dan bank sentral utama lainnya, yang telah menargetkan inflasi 2 persen dan terlihat mereka semakin terjebak oleh target itu. Maka dapat dipastikan bahwa dalam beberapa waktu ke depan likuiditas moneter dunia masih akan tetap berlimpah selama target inflasi mereka belum ada tanda-tanda tercapai.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Cetak Petani Milenial untuk Tangani Inflasi di Nusa Tenggara Timur

27 hari lalu

Petani usai melakukan transaksi digital dengan mengunakan mobile BCA di sebuah pertanian lahan kosong di Jakarta, Senin, 29 November 2021. Mencermati digitalisasi teknologi yang kini semakin dibutuhkan, BCA terus bergerilya menawarkan beragam kemudahan bagi nasabah dalam bertransaksi finansial, khususnya dalam menyongsong era new normal saat ini. TEMPO/Subekti.
Cetak Petani Milenial untuk Tangani Inflasi di Nusa Tenggara Timur

Kabupaten Timor Tengah Selatan NTT menginisiasi program cetak petani milenial. Mereka diajari tanam cabai hingga bawang.


Mengenal Apa itu inflasi, Jenis, dan Dampaknya

17 Oktober 2023

Inflasi adalah istilah yang merujuk pada kondisi di mana harga barang mengalami kenaikan. Berikut dampak yang ditimbulkan karena inflasi. Foto: Canva
Mengenal Apa itu inflasi, Jenis, dan Dampaknya

Inflasi adalah istilah yang merujuk pada kondisi di mana harga barang mengalami kenaikan. Berikut dampak yang ditimbulkan karena inflasi.


Inflasi 15 Provinsi di Atas Nasional, Jokowi Minta Pemda Rajin Cek ke Lapangan

31 Agustus 2023

Presiden Joko Widodo saat Peresmian Pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi Tahun 2023 di Istana Negara, Jakarta, Kamis 31 Agustus 2023. Rakornas tersebut mengusung tema Memperkuat Sinergi dan Inovasi untuk Stabilisasi Harga Menuju Ketahanan Pangan Nasional yang Berkelanjutan. TEMPO/Subekti.
Inflasi 15 Provinsi di Atas Nasional, Jokowi Minta Pemda Rajin Cek ke Lapangan

Jokowi menyebutkan terdapat 15 provinsi dan kabupaten/kota yang laju inflasinya di atas tingkat nasional meskipun sudah di bawah 5 persen.


Sri Mulyani Catat Permintaan Domestik Dorong Pertumbuhan Ekonomi Triwulan II 2023

1 Agustus 2023

Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah), Ketua Komisi XI DPR RI Kahar Muzakir (kedua kiri), Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie O.F.P (kanan) dan Amir Uskara (kiri), dan Achmad Hatari (kedua kanan) berfoto bersama usai rapat kerja di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 12 Juni 2023. Rapat tersebut membahas pengantar rencana kerja anggaran (RKA) dan rencana kerja Pemerintah (RKP) Kementerian Keuangan tahun 2024. TEMPO/M Taufan Rengganis
Sri Mulyani Catat Permintaan Domestik Dorong Pertumbuhan Ekonomi Triwulan II 2023

Perekonomian triwulan II 2023, kata Sri Mulyani diprakirakan masih tumbuh kuat, ditopang peningkatan konsumsi rumah tangga dan tren ekspansif aktivitas manufaktur.


Sri Mulyani: Inflasi Kembali ke Sasaran, Lebih Cepat dari Perkiraan

1 Agustus 2023

Menteri Keuangan Sri Mulyani saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 12 Juni 2023. Rapat tersebut membahas pengantar rencana kerja anggaran (RKA) dan rencana kerja Pemerintah (RKP) Kementerian Keuangan tahun 2024. TEMPO/M Taufan Rengganis
Sri Mulyani: Inflasi Kembali ke Sasaran, Lebih Cepat dari Perkiraan

Sri Mulyani memperkirakan inflasi dapat tetap terkendali.


Inflasi Tahunan Juli 3,08 Persen, Sektor Transportasi, Makanan dan Rokok Penyumbang Terbesar

1 Agustus 2023

Pengunjung tengah membeli kebutuhan sehari hari di Transmart Cempaka Putih, Jakarta, Senin, 2 Januari 2023. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami inflasi sebesar 0,66 persen pada Desember 2022 (month-to-month/mtm).  Tempo/Tony Hartawan
Inflasi Tahunan Juli 3,08 Persen, Sektor Transportasi, Makanan dan Rokok Penyumbang Terbesar

BPS mencatat inflasi tahunan pada Juli 2023 sebesar 3,08 persen.


Ekonom Prediksi Inflasi Tahunan 3,6 Persen: El Nino Perlu Diantisipasi dengan Hati-hati

31 Juli 2023

Sejumlah bocah bermain di area persawahan yang terdampak kekeringan akibat musim kemarau di Desa Pajukukang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Minggu, 25 Juni 2023. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprakirakan persentase peluang terjadinya fenomena El Nino di Indonesia pada Juni 2023 menguat dari sebelumnya 50-60 persen menjadi 80 persen sehingga pemerintah pusat dan daerah diharapkan segera melakukan upaya antisipatif pada wilayah yang berpotensi mengalami kekeringan dan dampak lanjutannya. ANTARA FOTO/Arnas Padda
Ekonom Prediksi Inflasi Tahunan 3,6 Persen: El Nino Perlu Diantisipasi dengan Hati-hati

Ekonom dari Bank Mandiri, Faisal Rachman, memperkirakan inflasi tahunan terus menurun sepanjang paruh kedua 2023.


ASDP Jelaskan Faktor Pembentuk Tarif Baru Angkutan Penyeberangan yang Mulai Berlaku 3 Agustus

30 Juli 2023

PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) merampungkan pembelian saham perusahaan pesaingnya, PT Jembatan Nusantara, pada akhir Februari lalu. Nilainya Rp 1,3 triliun, menurut data Kementerian BUMN.
ASDP Jelaskan Faktor Pembentuk Tarif Baru Angkutan Penyeberangan yang Mulai Berlaku 3 Agustus

PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) menerapkan penyesuaian tarif angkutan pada 29 lintasan penyeberangan di seluruh Indonesia.


BPS Catat Inflasi Tahunan Juni 2023 3,52 Persen, Terendah sejak April 2022

3 Juli 2023

Calon pembeli mengecek kualitas beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Selasa 4 Oktober 2022. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat laju inflasi pada September sebesar 1,17 persen (month-to-month/mtm), tertinggi sejak Desember 2014 dengan komoditas utama penyumbang inflasi tersebut adalah harga b ahan bakar minyak (BBM), beras dan angkutan dalam kota. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
BPS Catat Inflasi Tahunan Juni 2023 3,52 Persen, Terendah sejak April 2022

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi secara tahunan atau year on year pada periode Juni 2023 sebesar 3,52 persen.


IMF Minta RI Pertimbangkan Larangan Ekspor Nikel, Bahlil Ungkap Standar Ganda

30 Juni 2023

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, dalam konferensi pers 'Kebijakan dan Implementasi Hilirisasi Sebagai Kedaulatan Negara' di kantornya, Jakarta, Jumat, 30 Juni 2023. TEMPO/Amelia Rahima Sari.
IMF Minta RI Pertimbangkan Larangan Ekspor Nikel, Bahlil Ungkap Standar Ganda

Bahlil Lahadalia, menanggapi rekomendasi Dana Moneter Internasional atau IMF yang meminta Indonesia mencabut larangan ekspor mineral mentah, termasuk nikel, secara bertahap.