Presiden Joko Widodo harus mengambil sikap tegas terhadap upaya pelemahan KPK yang dilakukan DPR. Pembentukan Panitia Khusus Hak Angket KPK oleh DPR, dengan dalih komisi antirasuah ini sudah melanggar undang-undang, merupakan langkah nyata tindakan pro-korupsi.
Langkah DPR ini mendapat tentangan dari seluruh negeri. Sejumlah tokoh agama, kampus, dan elemen masyarakat lain, terutama aktivis antikorupsi, ramai-ramai menuntut DPR membatalkan pembentukan Pansus Hak Angket. Mereka menilai pembentukan Pansus sebagai akal-akalan Dewan untuk membungkam KPK dan melanggengkan praktik korupsi.
Jokowi perlu memperhatikan masalah ancaman terhadap KPK. Seruan masyarakat antikorupsi ini merupakan wujud kecemasan akan masa depan pemberantasan korupsi. Di samping itu, legalitas Pansus Hak Angket meragukan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang DPR, hak angket seharusnya dialamatkan kepada presiden beserta jajarannya dan badan pemerintah non-kementerian, bukan kepada lembaga negara yang bersifat independen seperti KPK.
Tidak bisa dimungkiri, pembentukan Pansus Hak Angket sangat dekat dengan aroma kolusi karena pada saat bersamaan KPK sedang menyidik korupsi E-KTP, yang melibatkan sejumlah anggota Dewan. Dalih Pansus bahwa KPK melampaui wewenang yang diatur undang-undang hanya merupakan pembenaran terhadap upaya melemahkan lembaga ini sekaligus menyelamatkan diri dan kolega dari jerat hukum.
Langkah DPR hendak menjatuhkan KPK terlihat dari cara Pansus menjaring pendapat masyarakat. Di antara pakar hukum pidana yang diundang, hanya satu orang yang berasal dari kelompok anti-hak angket, yaitu Zain Badjeber. Sedangkan ahli yang mendukung, dari Yusril Ihza Mahendra sampai Romli Atmasasmita, diundang dalam beberapa kesempatan.
Tindakan anggota Pansus mendatangi terpidana korupsi di Penjara Sukamiskin, Bandung, juga sangat ganjil dan melecehkan badan peradilan. Anggota Pansus memperlakukan pelaku yang sudah terbukti secara inkrah melanggar pidana korupsi itu sebagai korban pelanggaran KPK.
Memang bukan baru kali ini DPR berupaya memasung komisi antikorupsi. Pada 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mematahkan upaya DPR merevisi Undang-Undang No. 30/2002 tentang KPK. Presiden Jokowi juga menempuh cara yang sama dengan menarik usul pemerintah untuk merevisi Undang-Undang KPK pada awal 2015. Namun upaya pelemahan ini tak pernah berakhir.
Karena itu, Jokowi perlu kembali menunjukkan keberpihakan kepada gerakan antikorupsi ini dengan langkah lebih nyata. Tidak cukup hanya dengan menyatakan akan menolak hasil Pansus Hak Angket jika merekomendasikan pelemahan KPK. Jika pada awal berkuasa Jokowi bisa membatalkan rencana revisi Undang-Undang KPK, semestinya saat ini ia juga bisa menghentikan langkah Pansus Hak Angket itu. KPK yang lemah bakal memunculkan kembali rezim korup di negeri ini.