Keputusan pemerintah membekukan situs percakapan digital Telegram bukan langkah yang taktis meski diambil dengan alasan yang bisa dipahami. Membekukan media komunikasi tanpa menjelaskan duduk soalnya segera dikecam sebagai bentuk pembredelan, alih-alih dipahami sebagai tindakan mencegah berkembangnya persebaran ideologi kekerasan dan terorisme.
Setelah aksesnya dibatasi melalui Facebook, Twitter, dan WhatsApp, para teroris memakai Telegram untuk berkomunikasi. Kesaksian Dian Yulia Novi dan Nur Solihin, suami-istri yang hendak meledakkan Istana Negara pada Desember tahun lalu, mengungkap bagaimana komandan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) Asia Tenggara, Bahrun Naim, merekrut teroris baru serta memberikan tutorial membuat bom dan teknis penyerangan lewat Telegram.
Ruang percakapan ini menjadi sarana favorit komunikasi teroris karena belum bisa ditembus polisi. Detasemen Khusus 88 Antiteror kesulitan memantau komunikasi para teroris karena sarana bercakap ini dilindungi enkripsi yang ketat. Tak seperti dalam soal WhatsApp, polisi gagal menemukan kantor pembuat Telegram di Rusia dan Jerman tahun lalu.
Meski terlambat, pembuat Telegram memenuhi permintaan Kementerian Komunikasi dan Informatika menutup grup-grup percakapan yang berisi para teroris. Meski cara ini tak memutus total komunikasi mereka, karena teroris membangun grup baru setiap kali grup lama ditutup, kerja sama dengan pemilik platform komunikasi berbasis Internet adalah cara yang benar.
Pembekuan Telegram tanpa pengumuman, dengan alasan tim Telegram terlambat merespons permintaan, menunjukkan bahwa pemerintah tak taktis dalam berkomunikasi. Di zaman Internet, komunikasi bisa dilakukan dengan mudah dan cepat. Pemilik Telegram sudah menyatakan bersedia bekerja sama memerangi terorisme.
Memerangi berkembangnya ideologi kekerasan perlu kerja sama dengan semua pihak dan dilakukan secara cerdas. Pembekuan yang diumumkan secara terbuka, selain diketahui oleh para teroris sehingga mereka buru-buru pindah platform, malah menjauhkan dari tujuannya. Langkah pemerintah segera dikampanyekan sebagai pemberangusan komunikasi sehingga tak meraih simpati publik yang mendapatkan manfaat dari platform ini.
Dukungan publik amat penting dalam melawan terorisme. Untuk mendapatkannya, pemerintah harus memakai cara-cara yang cerdas, tak melanggar kebebasan berekspresi, dan melibatkan publik sebelum mengesahkannya menjadi keputusan. Di era demokrasi, pelarangan mudah dipersepsikan sebagai tindakan sewenang-wenang jika tak dibarengi dengan penjelasan yang jernih.
Penutupan situs-situs yang memuat konten kekerasan dan terorisme beberapa waktu lalu seharusnya dijadikan patokan dalam membuat keputusan menyangkut Internet. Keputusan tersebut mendapat dukungan luas karena melibatkan publik. Dukungan publik merupakan kampanye efektif sebagai pesan kepada teroris bahwa masyarakat bersatu melawan mereka.