Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Peraturan Pemerintah dalam Sistem Presidensial

image-profil

image-gnews
Iklan

Sulardi
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Malang

Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan telah memicu kontroversi. Sebagian pihak menilai langkah ini lebih menggunakan pendekatan kekuasaan daripada persuasi. Sebab, berdasarkan peraturan ini, pemerintah dengan mudah membubarkan organisasi masyarakat (ormas) hanya dengan memberikan sanksi administrasi, yakni pencabutan izin sebagai badan hukum, lalu bubarlah organisasi itu. Maka, peraturan ini akan mengancam keberadaan ormas di Indonesia, terutama yang kritis terhadap pemerintah.

Substansi peraturan ini lebih mengedepankan apa maunya pemerintah. Melalui peraturan ini, pemerintah telah menempatkan diri sebagai lembaga eksekutif sekaligus yudikatif, yang menjatuhkan vonis bubar pada suatu ormas. Hal ini menandai keruntuhan kebebasan berserikat.

Lazimnya, pemerintah sebagai penguasa negara memang mempunyai kewenangan untuk memberikan layanan administrasi, dalam hal ini mengizinkan atau tidak mengizinkan berdirinya sebuah organisasi. Namun, setelah izin itu diperoleh, pemerintah tidak bisa sewenang-wenang mencabut izin tersebut tanpa proses pengadilan.

Ada langkah hukum yang dapat kita lakukan untuk menolak peraturan ini. Pertama, mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara atas surat keputusan pencabutan izin ormas yang telah diterbitkan pemerintah. Putusan pengadilan bisa saja menyatakan bahwa surat keputusan itu tidak mendasar dan pertimbangan pemerintah mencabut izin tidak terbukti dalam persidangan.

Kedua, mengajukan permohonan uji peraturan pemerintah itu ke Mahkamah Konstitusi dengan alasan bahwa pasal-pasal yang menjadi dasar pencabutan izin ormas bertentangan dengan beberapa pasal yang ada di dalam UUD 1945, seperti pasal tentang kebebasan berserikat, kepastian hukum, dan mencederai negara hukum. Dengan petitumnya, memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan bahwa pasal-pasal yang menjadi dasar pencabutan itu inkonstitusional.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dasar hukum hadirnya peraturan pemerintah itu adalah Pasal 22 UUD 1945 yang berbunyi: "Dalam hal-ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak mengajukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang". Dalam hal undang-undang darurat, dapat kita lihat pengaturannya dalam Pasal 139 Konstitusi Republik Indonesia Serikat danPasal 96Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat Menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia(UUDS 1950). Isinya: 1. Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintahan yang karena keadaan-keadaan mendesak perlu diatur segera. 2. Undang-undang darurat mempunyai kekuasaan dan derajat yang sama dengan undang-undang.

Antara peraturan pemerintah pengganti undang-undang dan undang-undang darurat mirip. Keduanya dibuat oleh pemerintah dan membutuhkan persetujuan DPR. Namun perlu digarisbawahi bahwa keduanya berada dalam zona sistem pemerintahan yang berbeda. Berdasarkan Konstitusi RIS dan UUDS 1950, sistem pemerintahan Indonesia adalah parlementer. Pada sistem parlementer, undang-undang dibuat bersama-sama oleh pemerintah dan DPR sehingga menjadi lazim bila dalam situasi yang darurat pemerintah (bukan presiden) membuat undang-undang tanpa persetujuan DPR, sehingga dinamai undang-undang darurat.

Sedangkan UUD 1945, baik sebelum maupun setelah perubahan, cenderung menjalankan sistem pemerintahan presidensial. Salah satu prinsip sistem presidensial adalah pembuatan undang-undang dilaksanakan oleh lembaga legislatif tanpa melibatkan eksekutif.

Tapi Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyatakan: "Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR". Ini merupakan ketentuan yang keliru jika dilihat dalam perspektif Triaspolitika karena presiden sebagai lembaga eksekutif tetapi memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Kekeliruan itu diperbaiki pada perubahan UUD 1945 yang pertama. Pasal itu berubah menjadi "Presiden berhak mengajukan rancangan-undang-undang kepada DPR".

Pergeseran pemegang kekuasaan membentuk undang-undang dari presiden ke DPR ini tidak diikuti perubahan Pasal 22 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 yang menunjukkan bahwa presiden masih berkuasa di bidang legislatif. Semestinya presiden tidak lagi mempunyai hak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Apa gunanya telah terjadi pergeseran kekuasaan membentuk undang-undang bila ternyata presiden masih berhak mengajukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, yang nyatanya adalah undang-undang yang belum disetujui oleh DPR. Apalagi tidak adanya indikasi kegentingan yang memaksa yang dapat diukur secara obyektif. Dengan demikian, presiden telah memanfaatkan kelemahan UUD 1945 untuk memperkuat fungsi legislatifnya sekaligus memperkuat kedudukan sebagai pemegang kekuasaan eksekutif.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Revisi PP 37/2006 Dinilai Kurang Tegas

23 Maret 2007

Revisi PP 37/2006 Dinilai Kurang Tegas

Menteri Dalam Negeri dinilai tidak tegas dalam melakukan revisi PP No 37/2006 khususnya mengenai tidak adanya sanksi bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang sudah menerima rapelan kenaikan tunjangan mereka.


DPRD Belum Tentukan Sikap atas Revisi PP 37

4 Maret 2007

DPRD Belum Tentukan Sikap atas Revisi PP 37

Kalangan DPR Daerah sampai Minggu (4/3) belum menentukan sikapnya atas keputusan pemerintah untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD.


"Revisi PP 37 Harus Secepatnya Diterapkan"

2 Maret 2007

"Revisi PP 37 Harus Secepatnya Diterapkan"

DPRD Provinsi Jawa Tengah meminta agar pemerintah segera menerapkan hasil revisi Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pemimpin dan Anggota DPRD.


Tetap Beri Rapelan, DPR Diminta Turunkan Presiden

2 Maret 2007

Tetap Beri Rapelan, DPR Diminta Turunkan Presiden

"Karena presiden telah menerbitkan aturan yang koruptif, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006," ujar Agus Susilo dari Pengurus Pusat Lakpesdam Nahdlatul Ulama yang tergabung dalam Koalisi Nasional di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jumat (2/3).


MA : Pengembalian Rapelan Dicicil Tidak Langgar Hukum

1 Maret 2007

MA : Pengembalian Rapelan Dicicil Tidak Langgar Hukum

Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menyatakan pengembalian rapelan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan cara dicicil tidak melanggar hukum. "Tidak apa-apa. Tidak melanggar prinsip retroaktif," kata Bagir seusai melantik Ketua Pengadilan Tinggi, di Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis (1/3).


Pengembalian Rapelan Dicicil dari Potongan Gaji

1 Maret 2007

Pengembalian Rapelan Dicicil dari Potongan Gaji

"Bukan sanksi (bagi yang tidak mau mengembalikan). Kalau sudah dipotong gajinya kan sudah tidak bisa apa-apa. Ini sudah jauh lebih moderat walau setiap rumusan aturan tetap ada celah kalau dicari-cari."


Pengembalian Rapel Tak Masuk Revisi PP 37

27 Februari 2007

Pengembalian Rapel Tak Masuk Revisi PP 37

Menteri Dalam Negeri Mohammad Ma'ruf mengatakan mekanisme pengembalian uang rapelan tunjangan komunikasi tidak akan akan dimasukkan dalam revisi Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2006 tentang Susunan Kedudukan dan Tunjangan Komunikasi Anggota DPRD.


Koalisi Nasional Minta Dukungan Kaum Agama Cabut PP Tunjangan DPRD

18 Februari 2007

Koalisi Nasional Minta Dukungan Kaum Agama Cabut PP Tunjangan DPRD

Koalisi Nasional merupakan gabungan beberapa LSM menggalang dukungan lembaga keagamaan untuk mendesak pemerintah dalam pencabutan Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 2006 tentang kedudukan protokoler dan keuangan pimpinan dan anggota DPRD.


Mekanisme Pengembalian Dana Rapelan Timbulkan Dilema Hukum

16 Februari 2007

Mekanisme Pengembalian Dana Rapelan Timbulkan Dilema Hukum

Menteri Sekretaris Negara, Yusril Ihza Mahendra, mengaku sulit merumuskan mekanisme hukum pengembalian dana rapelan karena tidak dikenalnya istilah berlaku surut dalam hukum.


Golkar Sulawesi Tenggara Juga Akan Tegur Angotanya yang Tolak Revisi PP 37

15 Februari 2007

Golkar Sulawesi Tenggara Juga Akan Tegur Angotanya yang Tolak Revisi PP 37

Setelah DPD Jawa Tengah, kini giliran DPD Golkar Sulawsi Tenggara yang akan memberi sanksi kepada anggotanya yang menolak revisi PP 37 tahun 2006 tentang tambahan tunjangan komunikasi.