Mundurnya Fraksi Partai Gerindra dari Panitia Angket Komisi Pemberantasan Korupsi di Dewan Perwakilan Rakyat semakin menunjukkan panitia ini hanya dagelan politik. Bukan hanya tujuannya yang melenceng, Panitia Angket juga terang-benderang tidak sah.
Semula, Panitia Angket dibentuk karena KPK menolak membuka rekaman pemeriksaan saksi korupsi proyek kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP), Miryam S. Haryani, saat rapat dengan Dewan. Dalam rekaman itu, Miryam disebutkan mendapat tekanan dari sejumlah koleganya di DPR agar tak membongkar kasus dengan kerugian negara Rp 2,3 triliun ini.
Belakangan, Panitia Angket mencari-cari kesalahan KPK dengan mengorek-ngorek audit keuangan, menyambangi narapidana korupsi, dan meminta keterangan sepihak dari orang-orang yang berseberangan dengan KPK. Apa yang dilakukan Panitia, terutama menemui narapidana untuk mencari kesalahan penanganan kasus di KPK, merupakan bentuk penghinaan terhadap lembaga peradilan. Sebab, jelas-jelas mereka sudah diputus bersalah dan kasusnya berkekuatan hukum tetap.
Keabsahan Panitia Angket juga bermasalah. Gerindra sendiri mundur karena menganggap panitia ini tidak sah. Hal ini karena beberapa fraksi belum menyetor nama perwakilannya, seperti Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Menurut Tata Tertib DPR dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, panitia angket wajib melibatkan seluruh fraksi. Kalau panitia ini tetap diteruskan, artinya DPR melanggar aturan dan undang-undang yang mereka buat sendiri.
Sikap partai-partai terhadap Panitia Angket bisa dibilang mencla-mencle dan dilatarbelakangi kepentingan politik jangka pendek untuk melindungi kadernya yang disengat KPK. Gerindra, contohnya, semula paling ngotot menolak Panitia Angket, tapi belakangan sempat mendukung karena salah satu anggotanya di DPR, Desmond J. Mahesa, disebut menekan Miryam.
Hal serupa terjadi pada Partai Amanat Nasional. Partai ini semula menolak Panitia Angket. Partai ini berbalik arah setelah nama Ketua Dewan Kehormatan partai itu, Amien Rais, disebut menerima aliran dana dalam persidangan kasus korupsi alat kesehatan yang melibatkan mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. Sebelum ke pengadilan, kasus ini ditangani komisi antikorupsi.
Pengusul Panitia lainnya adalah partai yang sakit hati kepada KPK, seperti Partai Golkar. Sejumlah kader partai beringin ini disebut-sebut dalam persidangan kasus e-KTP menerima aliran dana proyek itu. Satu nama yang disebut dalam kaitan kasus itu, Agun Gunanjar Sudarsa, justru ditunjuk menjadi Ketua Panitia Angket. Belakangan, KPK menetapkan Ketua Umum Golkar Setya Novanto dan salah seorang politikus partai itu, Markus Nari, sebagai tersangka korupsi e-KTP.
Dengan karut-marut itu, Panitia Angket sepantasnya dibubarkan. Bola saat ini berada di Mahkamah Konstitusi yang tengah menyidangkan permohonan uji materi ketidakabsahan Panitia oleh pelbagai kalangan ini. Mahkamah harus segera mengetuk putusan sela mengabulkan permohonan pencabutan pasal yang menjadi dasar hukum panitia tersebut.