Sekalipun dibilang terlambat, audit investigasi pemerintah Jakarta terhadap penggunaan air tanah di gedung-gedung pantas didukung. Penutupan paksa sumur ilegal dan penerapan sanksi administrasi terhadap para pelanggar penggunaan air tanah sudah seharusnya dilakukan mengikuti peraturan yang ada.
Penggunaan air tanah di Jakarta sudah sangat besar. Indikatornya adalah penurunan muka tanah yang terus terjadi. Beberapa ahli memang masih berdebat tentang penyebab terbesar penurunan itu: apakah karena penyedotan air ataukah formasi alami batuan.
Tapi menekan penggunaan air tanah yang legal ataupun ilegal setidaknya menekan pula salah satu faktor penyebab terus amblesnya daratan Jakarta. Merazia sumur dan menaikkan tarif air tanah bisa menjadi cara menekan penyedotan air tanah.
Masalahnya, pemerintah Jakarta harus memperhatikan kemampuan menyediakan air bersih jika hendak mengurangi penyedotan air tanah. Tidak adil kalau pemerintah tak menyediakan opsi penggantinya, yakni menambah jaringan dan suplai air bersih lewat pipa.
Pemerintah harus hati-hati karena ketegasan razia dan pengetatan pajak air tanah malah bisa menyuburkan praktik pengambilan air tanah secara terang-terangan lantaran ketiadaan sumber alternatif. Perusahaan Air Minum Jakarta Raya tak sanggup memasok seluruh kebutuhan air bersih di Ibu Kota. Kapasitas produksi sebesar 18 ribu liter per detik yang terpasang saat ini baru memenuhi 72 persen total kebutuhan air bersih di Jakarta.
Adapun jaringan pipanya yang panjangnya sudah 12 kali Pulau Jawa itu ruwet, tua, dan bocor di sana-sini hingga 40 persen. Dengan kondisi yang ada sekarang, sulit bagi perusahaan air minum daerah untuk menambah debit. Kalaupun itu dilakukan, ada dua ujungnya: pipa tua pecah, atau kebocoran semakin besar alias tidak efektif.
Jakarta harus memanfaatkan sisa enam tahun masa kontrak penswastaan air dengan memaksa operator berinvestasi lebih besar. Mereka harus mengganti pipa-pipa lama dan menambah jaringan hingga tak ada lagi alasan gedung, pabrik, ataupun wajib pajak air tanah tetap menyedot air dari dalam tanah. Apalagi tarif air PAM yang saat ini berlaku lebih rendah daripada tarif air tanah.
Dengan kapasitas produksi yang ada sekarang, dua operator swasta yang ada saat ini baru menumbuhkan akses air bersih sekitar 40-60 persen sejak 1998. Tapi tekanan ke operator tentu mesti dibarengi dengan inovasi pemerintah. Pengalaman menambah satu unit pompa yang butuh waktu bertahun-tahun hanya karena pembebasan lahan jangan sampai terulang.
Kalau pipa sudah siap, tentu perlu menambah sumber air baku. Saat ini pasokan air bersih di Jakarta 81 persen berasal dari saluran Tarum Barat atau Jatiluhur dan 15 persen dari Tangerang. Selebihnya dari sungai-sungai di Jakarta yang kotor. Kerja sama untuk menyelamatkan air tanah, dengan demikian, harus terjalin baik dengan pusat dan dengan daerah lain pemilik sumber air.