Nama keluarganya Mahieu, lahir di Bangkalan, 22 Agustus 1865: ia bukan orang Madura dan tak berdarah Prancis. August Mahieu bermula dan berakhir di perbatasan yang tak jelas. Pribumi? Nonpribumi?
Asal-usulnya keluarga Belanda dari Brabant Utara, Nederland, yang kemudian pergi ke koloni di Jawa. Neneknya setengah Jawa. Ayahnya, kelahiran Kediri, pegawai rendahan gubernemen.
Ketika August ("Guus") yang cerdas ini mendapat kesempatan yang langka, yakni bersekolah di HBS Surabaya-padahal ia bukan dari lapisan sosial yang mampu-lumrah untuk membayangkan si anak kelak akan mendapat jabatan penting dalam administrasi kolonial. Tapi ternyata tidak; Guus, yang putus sekolah, akan dicatat dalam sejarah sebagai seorang perintis seni pertunjukan komersial Indonesia-dalam sebuah masyarakat yang diam-diam bengis.
Meninggalkan HBS (sekolah yang kelak akan jadi alma mater pertama Bung Karno) dan memilih hidup sebagai orang panggung di akhir abad ke-19 itu adalah sebuah kegilaan.
Tapi tak sepenuhnya. Dalam Komedie Stamboel, sebuah buku sejarah yang bercerita dengan saksama dan memukau, Matthew Isaac Cohen menuliskan riwayat hidup Mahieu dalam peran besarnya membangun dunia yang disepelekan orang-orang burgerlijk yang terhormat-dunia hiburan orang ramai. Kita tahu dunia itu kait-berkait dengan hidup orang banyak, yang melarat, bermimpi, dan tak punya jaminan masa depan.
Mahieu memberi variasi baru kepada teater komersial yang disebut "stambul" akhir abad ke-19. Ia bikin pementasan yang mencampurkan nyanyi, tari, vaudeville, dan kabaret dengan kisah dari "1.001 Malam", dongeng Jawa, Melayu, atau Cina. Pemainnya banyak, dekor serta properti panggungnya spektakuler, dan adegan-adegan disertai musik hidup. Beberapa aktor kadang-kadang menyanyi, mungkin mengikuti musikal Broadway yang mulai marak pada 1860-an di New York.
Tapi yang lebih penting: berbeda dengan teater tradisional, Komedi Stambul menggunakan bahasa yang kemudian jadi bahasa nasional. Bermula di Surabaya dan kemudian mendatangi beberapa kota di Jawa dan akhirnya di Jakarta, penggemar teater ini terdiri atas pelbagai kelompok budaya. Dengan kreativitas yang merentak, dan energi yang eksplosif, Mahieu membuka sebuah ruang hiburan yang mengatasi wajah multikultural kota-kota Indonesia. Hasil karyanya merupakan ekspresi yang pluralistis-corak yang berlanjut dalam teater modern Indonesia sampai hari ini.
Yang ironis, tak pernah ada eulogi bagi pionir ini. Yang ironis, masyarakat kolonial membutuhkannya, justru karena ia berdiri di tepi masyarakat itu.
Dalam tatapan yang berkuasa zaman itu, tatapan birokrasi Hindia Belanda, Mahieu tercatat sebagai orang "Eropa". Tapi ia seorang Eropa yang gagal.
Pemerintah kolonial, seperti dipaparkan Ann Laura Stoler dalam Along the Archival Grain (terbit 2010), mendasarkan status hukum "Eropa" kepada orang "Indo" bukan semata-mata pada warna kulit. Mereka yang lahir dari perkawinan campuran baru dianggap pantas berstatus "Eropa" bila mereka fasih dengan "gaya budaya Eropa". Atau bila mereka merasa "berjarak" dari "bagian dirinya yang pribumi".
Guus tak lulus di situ. Ia meninggalkan HBS, tempat pemerintah melatih anak muda untuk mengikuti perilaku seorang borjuis Eropa. Dengan demikian ia tak akan cocok dengan kualifikasi resmi tentang watak ke-Eropa-an: "rajin", "tak emosional", "produktif", "bisa dipercaya", "patriotik"-sifat-sifat yang dibayangkan sebagai citra orang Belanda umumnya.
Ia, seperti orang Indo umumnya, dianggap Inlandsche kinderen. Penamaan ini bisa berarti harfiah: generasi yang dilahirkan di Hindia dari perkawinan campuran. Tapi kata "kinderen", anak-anak, mengandung ejekan, mencerminkan pandangan orang-orang Belanda dengan darah "murni" yang menganggap kelompok Indo sebagai elemen yang tak matang. Tak bisa dipercaya. Mereka kaum "liplappen".
Di masa itu, di kota-kota Hindia Belanda, apa daya: orang Indo memang kaum yang disisihkan, menyisihkan diri, berantakan, melarat.
Di Surabaya, mereka tinggal di Krambangan. Kebanyakan penganggur, gampang tengkar, dan pemabuk. Tak aneh bila dunia seni pertunjukan-tempat para pemuda Indo menempuh karier-tak dianggap tempat "orang baik-baik". Nona-nona Indo yang bergabung di sana dengan mudah diasosiasikan dengan pelacuran.
Mahieu sendiri pernah dipenjara dan kehidupan seksualnya tak pernah "resmi". Tokoh teater dari rombongan Dardanella, Andjar Asmara, menulis: "Mahieu khususnya dikenal sebagai seorang cheri des dames, dengan banyak hubungan cinta, terutama dengan para aktris."
Tapi hidupnya praktis tanpa glamor. Seniman panggung tak punya nafkah yang cukup dan ajek. Akhir hidup Mahieu dan grup teaternya rudin: tak bisa bersaing di kota-kota besar, mereka merayap ke kota-kota kecil. Terakhir Bumiayu, di Karesidenan Pekalongan. Dalam tur itu, Mahieu sakit, konon malaria, dan meninggal pada umur muda, 38 tahun.
Goenawan Mohamad