Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Cedera

Oleh

image-gnews
Iklan

Kita sering melihat adegan ini: di dalam bus kota, orang-orang duduk dengan ponsel masing-masing. Mereka asyik bermain game atau entah apa lagi. Mereka tak merasa berada bersama orang lain di dalam ruang yang sesak itu.

Di bus itu, ponsel menghadirkan paradoks teknologi. Saya teringat bagaimana teknologi disambut dalam novel Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia:

Ilmu pengetahuan semakin banyak melahirkan keajaiban. Dongengan leluhur sampai malu tersipu. Tak perlu lagi orang bertapa bertahun untuk dapat bicara dengan seseorang di seberang lautan. Orang Jerman telah memasang kawat laut dari Inggris sampai India! Dan kawat semacam itu membiak berjuluran ke seluruh permukaan bumi.

Ilmu memang bisa membangun sarana komunikasi yang efektif, tapi-dan ini yang diabaikan Pramoedya dalam novel itu-teknologi juga membuat jarak. Jarak itu berbeda dan lebih dalam.

Dari sebuah pondok di Hutan Hitam yang senyap di dekat Freiburg, Jerman, di tahun 1930-an, Heidegger memandang "keajaiban" teknologi dengan berbeda. Teknologi, katanya, telah membuat "semua jarak mengecil, baik dalam waktu maupun ruang". Tapi, "Semua jarak yang dengan tergesa-gesa disisihkan itu [justru] tidak mendatangkan kedekatan."

"Kedekatan", Nhe, tak dihitung dengan senti dan detik. Kedekatan, dalam hal ini, bisa lebih disebut sebagai "empati", "keakraban", atau "kemesraan".

Lihat di Gunung Kendeng, Jawa Tengah. Orang hendak mendirikan pabrik semen. Mereka ukur dan rancang wilayah itu. Dengan mobil atau helikopter, dalam belasan menit para insinyur dan manajer tiba di sana; jarak mengecil, waktu lebih cepat. Tapi saat itu orang-orang itu sebenarnya tak lagi "dekat" dengan alam yang terhampar. Bumi telah mereka reduksi hanya jadi sarana. Teknologi menjangkaunya, tapi seperti menyentuh mayat di meja anatomi. Ditelaah, diurai, kalau perlu disayat-sayat. Tanpa empati. Pengetahuan diperoleh, tentu, tapi "mengetahui" di depan kadaver itu berarti "menguasai".

Di masa lalu, para penggerak modernisasi memujikan kapasitas manusia untuk "mengetahui" yang sebenarnya "menguasai" itu. Di tahun 1930-an, misalnya, S. Takdir Alisjahbana menganjurkan: "Bangsa kita harus mengambil sikap hidup baru: menguasai alam, berjuang melawan alam."

Tapi seperti yang terjadi di Gunung Kendeng, ada kerusakan terjadi ketika kita melawan alam-kerusakan yang tidak hanya pada bumi, gunung kapur, sungai di dasar tanah, mungkin hutan di sekitar, tapi juga kerusakan pada perspektif kita. Kita sangka dengan akalnya manusia berhasil membuka banyak teka-teki, memecahkan problem, menyiapkan alat, memprediksi masa depan, dan dengan itu jadi penguasa bumi. Tapi bumi di bawah kakinya tak lagi perawan, dan manusia, di takhta tinggi, sendirian, terasing. Semesta jadi jajahan. Bukan sahabat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam Minima Moralia, Adorno, filosof Jerman yang mengungsi ke Amerika itu, menggambarkan keadaan itu sebagai "hidup yang cedera"-yang tampak di Eropa sejak dua perang dunia, di zaman yang didominasi modal, komersialisasi, dan hasrat penaklukan wilayah. Konflik yang membunuh jutaan orang itu menunjukkan betapa mengerikannya teknologi ketika bertaut dengan keserakahan modern.

Di awal abad ke-20, tokoh Bumi Manusia belum melihat kemungkinan itu. Ia masih mengelu-elukan datangnya zaman modern. Ia masih mengejek "dongengan leluhur" yang "malu tersipu" karena tak sanggup lagi menyajikan keajaiban. Ilmu pengetahuan itulah yang mampu....

Ini, tentu saja, penerus pandangan positivis abad ke-19 Eropa, yang menganggap ilmu-ilmu sebagai juru selamat dan mithologi bagian yang niscaya musnah. Tapi kini, dalam "hidup yang cedera", soalnya lain: kita justru butuh "dongengan leluhur". Sebagai imajinasi alternatif.

Dalam Mahabharata, setelah perang Bharatayudha, setelah satu generasi saling membunuh, orang-orang tua menyingkir ke dalam rimba. Akhirnya mereka tewas ketika hutan terbakar-seakan-akan alam memperabukan mereka.

Bagi saya, mereka menyatukan diri kembali dengan hewan dan pepohonan, tanah dan cuaca, setelah capek dan kecewa menyaksikan anak-anak mereka, diri mereka sendiri, makhluk yang cerdik dan terampil itu, tak henti-hentinya mempersiapkan kemenangan. Kunthi, Gandari, dan Destarastra menyaksikan tragedi keluarga Bharata dan memutuskan menjauh dari kekuasaan, juga sisa-sisanya. Mereka masuk ke kehidupan yang tak tepermanai, bebas dari kolonisasi manusia.

Di sana hening akrab-sesuatu yang hilang sekarang, di zaman media sosial, ketika orang saling sapa saling cerca tiap detik, dan mabuk dalam keributan, ketika orang tak punya tempat, tak punya waktu, untuk berkelana seperti yang dipujikan puisi Wedhatama di Jawa abad ke-19: lelana leladan sepi.

Tentu saja sepi, hening, dan rimba itu bisa sebagai kiasan: mengambil jarak dan memandang dengan kritis dunia yang kini ribut, rakus, dan tak tahu kapan berhenti.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita MotoGP: Joan Mir Perpanjang Kontrak di Repsol Honda hingga 2026

2 menit lalu

Joan Mir pembalap MotoGP di Repsol Honda. (Foto: Repsol Honda)
Berita MotoGP: Joan Mir Perpanjang Kontrak di Repsol Honda hingga 2026

Pembalap MotoGP Joan Mir memperpanjang kontraknya dengan tim pabrikan Honda Racing Corporation (HRC/Repsol Honda) selama dua musim.


Indikator Keberhasilan Pilkada 2024: Partisipasi Generasi Muda sampai Semua Pihak Patuhi Aturan

4 menit lalu

Ilustrasi TPS Pilkada. Dok TEMPO
Indikator Keberhasilan Pilkada 2024: Partisipasi Generasi Muda sampai Semua Pihak Patuhi Aturan

Beberapa indikator Pilkada 2024 berhasil, antara lain partisipasi generasi muda sebagai pemilih terbesar dan mematuhi aturan oleh semua pihak terlibat


Komika Arie Kriting Besut Film Kaka Boss, Berikut Film Lain yang Dibintanginya Termasuk Agak Laen

8 menit lalu

Stand Up Comedian Arie Kriting dengan gaya khas orang Timur tampil menghibur penonton di ajang Tujuh Hari Untuk Kemenangan Rakyat di Teater Salihara, Jakarta,  19 Juli 2014. TEMPO/Nurdiansah
Komika Arie Kriting Besut Film Kaka Boss, Berikut Film Lain yang Dibintanginya Termasuk Agak Laen

Arie Kriting menjadi sutradara film Kaka Boss. Sebelumnya, ia telah bermain dalam beberapa film termasuk Agak Laen.


Olivia Rodrigo Tegaskan Dukungan untuk Kamala Harris atas Isu Hak Reproduksi

9 menit lalu

Olivia Rodrigo/Foto: Instagram/Olivia Rodrigo
Olivia Rodrigo Tegaskan Dukungan untuk Kamala Harris atas Isu Hak Reproduksi

Olivia Rodrigo menunjukkan dukungannya kepada Kamala Harris dengan mengunggah ulang video yang mengkritik kebijakan Donald Trump tentang aborsi.


Cegah Wabah, WHO Kirim Lebih dari 1 Juta Vaksin Polio ke Gaza

9 menit lalu

Anak-anak Palestina menangis saat berebut makanan dimasak oleh dapur amal, di tengah kelangkaan makanan, saat konflik Israel-Hamas berlanjut, di Jalur Gaza utara, 18 Juli 2024. REUTERS/Mahmoud Issa
Cegah Wabah, WHO Kirim Lebih dari 1 Juta Vaksin Polio ke Gaza

WHO mengirimkan lebih dari satu juta vaksin polio ke Gaza untuk mencegah anak-anak terkena wabah


PSN Rempang Eco City Tetap Lanjut, Walhi: Suara Rakyat Diabaikan

9 menit lalu

Warga Rempang bentangkan spanduk di atas kapal di laut Pulau Rempang, Kota Batam, Senin, 20 Mei 2024. TEMPO/Yogi Eka Sahputra
PSN Rempang Eco City Tetap Lanjut, Walhi: Suara Rakyat Diabaikan

Pemerintah memutuskan untuk tetap melanjutkan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City. Walhi sebut pemerintah abaikan suara rakyat.


Segini Harta Kekayaan Hakim MA yang Perintahkan Rumah Istri Rafael Alun Dikembalikan

9 menit lalu

Terdakwa mantan pejabat eselon III kabag umum Kanwil Ditjen Pajak Jakarta Selatan II, Rafael Alun Trisambodo (tengah) berbincang dengan kuasa hukumnya saat mengikuti sidang pembacaan surat amar putusan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin, 8 Januari 2024. Rafael menyatakan masih pikir-pikir soal kemungkinan mengajukan banding atas vonis 14 Tahun penjara dan denda Rp 500 juta yang dijatuhkan  Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kepadanya. TEMPO/Imam Sukamto
Segini Harta Kekayaan Hakim MA yang Perintahkan Rumah Istri Rafael Alun Dikembalikan

Lewat putusan kasasi, hakim MA (Mahkamah Agung) memerintahkan harta istri Rafael Alun Trisambodo dikembalikan. Segini kekayaan hakim tersebut.


Sepak Terjang Hendry Lie, Tersangka Korupsi Timah yang Keberadaannya Dimonitor Kejagung

9 menit lalu

Hendry Lie. (Dok. PT. Tinindo Inter Nusa (TIN))
Sepak Terjang Hendry Lie, Tersangka Korupsi Timah yang Keberadaannya Dimonitor Kejagung

Hendry Lie, tersangka korupsi timah yang juga pendiri perusahaan maskapai PT Sriwijaya Air.


Login WhatsApp Web Kini Bisa Tanpa Nomor Telepon, Muncul Risiko Penipuan Akun

9 menit lalu

WhatsApp Web. Kredit: Tech Advisor
Login WhatsApp Web Kini Bisa Tanpa Nomor Telepon, Muncul Risiko Penipuan Akun

Privasi pengguna kian aman saat memakai WhatsApp Web yang didaftarkan tanpa nomor telepon. Namun, pengguna jadi harus mewaspadai akun palsu.


Kupas Tuntas Perpres Nomor 76 Tahun 2024 Soal IUP yang Baru Disahkan Presiden Jokowi

19 menit lalu

Presiden Jokowi memberikan keterangan usai meluncurkan golden visa Indonesia di hotel ritz carlton, Jakarta Selatan, Kamis,  25 Juli 2024. TEMPO/Daniel a. Fajri
Kupas Tuntas Perpres Nomor 76 Tahun 2024 Soal IUP yang Baru Disahkan Presiden Jokowi

Di dalam JDIH Kemensesneg di Jakarta telah memuat ketentuan distribusi IUP kepada kelompok masyarakat tercantum dalam Pasal 5A ayat (1).