Dewan Perwakilan Rakyat tak pantas meminta kenaikan anggaran tahun depan. Selain kinerjanya biasa-biasa saja, lembaga ini tak semestinya menambah beban keuangan negara yang tengah sulit.
Dewan meminta tambahan 70 persen dari anggaran tahun ini sebesar Rp 4,2 triliun menjadi Rp 7,2 triliun pada 2018. Ketika anggaran banyak lembaga negara, juga pemerintah daerah, dipotong, permintaan itu memalukan. Terutama jika melihat kinerja Dewan, khususnya dalam menjalankan fungsi legislasi, yang bisa dibilang jeblok.
Permintaan tambahan anggaran ini, menurut Ketua Badan Urusan Rumah Tangga Anton Sihombing, disetujui dalam rapat paripurna April lalu. Bujet negara akan dibahas Dewan dan pemerintah setelah Presiden Jokowi membacakan nota keuangan pada 16 Agustus. Dari anggaran yang diajukan Dewan, Rp 4,87 triliun dialokasikan untuk satuan kerja Dewan. Selebihnya untuk satuan kerja Sekretariat Jenderal DPR. Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga Hasrul Azwar menganggap anggaran lembaganya kecil karena "hanya sekitar 0,34 persen dari APBN 2018".
Permintaan kenaikan yang disampaikan menjelang pemilihan umum 2019 ini wajar memantik curiga bahwa sebagian dana akan digunakan sebagai modal politik para politikus. Muncul pula pertanyaan ihwal urgensi anggaran yang diajukan. Di situ antara lain tercantum rencana pembangunan gedung baru dan apartemen buat tempat tinggal anggota Dewan. Konon, hal itu dimaksudkan buat meningkatkan kinerja mereka.
Ada beberapa indikator kunci untuk menilai kinerja DPR. Salah satunya adalah dalam menjalankan fungsi legislasi. Selama lima tahun ini anggaran DPR cenderung naik setiap tahun. Kenyataannya, kenaikan ini tak diikuti peningkatan jumlah produk legislasi. Pada 2014 nilai anggaran DPR tercatat Rp 2,3 triliun, sedangkan undang-undang yang disahkan hanya tiga. Tahun berikutnya, 2015, anggaran DPR naik dua kali lipat menjadi Rp 5,1 triliun. Coba lihat berapa legislasi yang dihasilkan: hanya tiga undang-undang. Dan dengan anggaran 2016 sebesar Rp 4,7 triliun, Dewan hanya menyelesaikan 10 dari 50 undang-undang yang diprioritaskan. Dengan prestasi kinerja legislasi seperti itu, timbul pertanyaan besar: apa pentingnya penambahan anggaran tersebut?
Pemerintah seharusnya tidak menuruti keinginan Dewan menambah anggaran. Selama pembahasan anggaran oleh kedua lembaga, pemerintah diharamkan menjadikan soal ini sebagai alat tawar-menawar. Kita tahu, selama ini barter politik semacam itu lazim terjadi.
Sebagian besar sumber pendapatan negara adalah pajak, yang dipungut dari masyarakat. Penggunaannya harus ditujukan untuk hal yang tepat dan secara efisien. Dalam hal ini, pengadaan bangunan fisik semacam apartemen anggota Dewan bukanlah prioritas. Toh, mereka sudah memiliki fasilitas rumah dinas.
Direktorat Pajak memiliki slogan "orang bijak taat pajak". Publik kini menuntut: pemerintah dan DPR berlaku bijak menggunakan pungutan pajak.