M. Luthfi Hamidi
Kandidat doktor Griffith University
Setelah melantik anggota Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar dana haji diinvestasikan di proyek infrastruktur. Hal ini memicu kontroversi.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji menyatakan pengelolaan keuangan haji berprinsip syariah. Implikasinya, selama skema transaksi investasi sesuai syariah, tak jadi soal jenis investasinya apa, termasuk infrastruktur. Masalahnya, apakah calon haji sebagai pemilik dana dimintai persetujuan ihwal penggunaan dana mereka untuk keperluan ini? Bisa jadi mereka sudah menandatangani wakalah (mewakilkan) sehingga sudah memenuhi syarat persetujuan. Bila belum, ini perlu dibereskan dulu. Jemaah haji berhak mendapat jaminan secara syariah karena dana yang mereka setorkan itu diniatkan untuk ibadah.
Di sini, diperlukan sosialisasi dari BPKH kepada calon haji untuk menjembatani antara pemilik dana dan penggunaan dana. Selain itu, perlu juga meyakinkan calon haji bahwa ada bagian dari investasi yang bisa mereka nikmati. Selama ini ada kesan dana hasil investasi tidak jelas berapa jumlahnya, dipakai siapa, dan untuk apa. Barangkali sudah ada "subsidi" dari hasil investasi sebelumnya tapi belum diungkap. Transparansi pengelolaan dana akan menguatkan kepercayaan calon haji bahwa pemerintah memang serius sehingga mereka mempercayakan pengelolaan dananya dengan sepenuh hati.
Tidak semua yang berangkat haji adalah orang kaya. Ada yang seumur hidupnya menabung sedikit demi sedikit. Ada pula yang memilih mendapatkan talangan dari bank untuk melunasi ongkos Rp 25 juta agar mendapat nomor porsi. Selain itu, dana yang sudah disetor tersebut masih bisa ditarik bila sewaktu-waktu ada kebutuhan darurat.
Itu sebabnya sebagian kalangan meyakini bahwa pengamanan dana haji jauh lebih penting daripada bisnisnya. Tidak bila dana haji selama ini lebih banyak dimainkan dalam Surat Berharga Syariah Negara (sukuk) dan deposito berjangka. Instrumen ini aman, menguntungkan, dan likuid (bisa diuangkan dengan cepat). Bagaimana bila tiba-tiba digeser untuk proyek infrastruktur?
Menurut US National Research Council (1987), proyek infrastruktur itu antara lain mencakup jalan tol, jembatan, mass transit, bandar udara, suplai air bersih, pembangkit listrik dan transmisinya, serta telekomunikasi. Selain menguras dana, proyek itu biasanya memerlukan waktu penyelesaian yang lama. Untuk jalan tol, misalnya, selama 2015-2019, pemerintah menargetkan penambahan ruas jalan tol hingga 1.060 kilometer dengan total investasi Rp 167,4 triliun. Dari sisi bisnis, jalan tol memang sangat menguntungkan. Tahun 2014, Jasa Marga yang menguasai 74 persen ruas jalan tol meraup keuntungan Rp 14 miliar sehari. Ibaratnya, manajemen tinggal duduk-duduk di kantor, uang masuk sendiri. Namun perlu disadari bahwa jalan tol yang akan dibangun sekarang mungkin tidak se-"gemuk" milik Jasa Marga karena dimaksudkan untuk menunjang kawasan-kawasan ekonomi baru. Belum lagi risiko ketidakpastian politik dan pembebasan lahan yang kadang memakan waktu lama.
Maka, menanamkan dana haji untuk infrastruktur perlu kajian keamanan dan kelayakan ekstra. Kalau dialog sudah diupayakan dan pemerintah mengantongi izin dari calon haji tentang penggunaan dana haji, barulah langkah investasi yang lebih serius dari upaya sebelumnya bisa dilakukan. Dalam hal ini penting merujuk prinsip investasi "jangan menaruh telur dalam satu keranjang". Menaruh dana Rp 80 triliun semuanya untuk infrastruktur bisa jadi bumerang.
Tabungan Haji Malaysia, yang sudah puluhan tahun mengelola dana haji, membagi investasi dalam empat cakupan: penyertaan saham, instrumen yang memberikan hasil pasti, properti, dan kas. Saat ini, mereka memiliki 14 anak perusahaan di tiga sektor bisnis: perkebunan, konstruksi (manajemen proyek), dan jasa. Di antara tiga bidang garapan ini, justru yang dianggap manajemen menguntungkan adalah perkebunan, seperti kelapa sawit mereka di Indonesia dan Filipina. Sedangkan sektor konstruksi pernah jeblok karena mudah terkena dampak krisis. Adapun sektor jasa (katering dan travel) dianggap stabil.
Pendanaan infrastruktur perlu dikaji lebih serius. Ini bukan sekadar persoalan bisnis, tapi juga harus memperhatikan Undang-Undang Pengelolaan Keuangan Haji yang menyebutkan bahwa pengelolaan keuangan haji bertujuan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan haji, rasionalitas dan efisiensi penggunaan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji, serta manfaatnya bagi umat Islam. Maka, kalau dana haji mau diinvestasikan, proyek infrastruktur yang tepat adalah yang membantu tujuan ini tercapai.
Misalkan soal pemondokan haji. Selama ini pemondokan haji adalah komponen biaya kedua terbesar setelah biaya penerbangan. Mengapa bukan ini saja yang dibangun dengan dana haji? Kalau yang dibangun adalah infrastruktur terkait dengan haji, hampir tidak ada alasan bagi jemaah untuk menolaknya.