TEMPO.CO, Jakarta- Karya terbaru karya sutradara duo Kimo dan Timo yang kini memasuki genre film laga. Aroma film The Raid tetap terasa.
***
HEADSHOT
Sutradara : Kimo Stamboel, Timo Tjahjanto
Skenario : Timo Tjahjanto
Pemain : Iko Uwais, Julie Estelle, Chelsea Islan, David Hendrawan, Sunny Pang, , Zack Lee, Yayu Unru,
Produksi : Screenplay Infinite Films
***
Seorang lelaki tanpa nama terdampar di pinggir pantai. Hingga dibawa ke rumah sakit dalam keadaan koma, tak ada yang berhasil mengetahui identitasnya atau keluarganya. Bahkan ketika sang lelaki bangun, ia mengalami amnesia. Karena kepala yang menyimpan sebutir peluru, dia juga tak tahu namanya sendiri. Dokter muda cantik Ailin (Chelsea Islan) yang senang membaca lantas memberikan nama agar mereka bisa berkomunikasi. Ishmael…, demikian Airin memberikan nama bagi si pemuda tanpa nama itu, yang diambil dari tokoh pencerita dalam novel terkemuka Moby Dick karya Herman Melville.
Untuk beberapa saat, baik para tokoh maupun penonton sama-sama dibangun keinginan tahu, siapakah sesungguhnya pemuda tampan yang babak belur ini; apa latar belakangnya; apa penyebab benturan di kepalanya yang membuat dia lupa segalanya yang terjadi padanya. Tak banyak waktu menebak-nebak, layar lebar itu diterkam. Tiba-tiba saja muncul macam-macam pembunuh yang mengejar-ngejar Ishmael habis-habisan. Jadilah Ishmael dan Airin berlari-lari seperti Jason Bourne –yang sepanjang film mencoba mengingat-ingat siapa dirinya—sambil berkelahi di sana dan di sini, di dalam bis, di luar bis, di pinggir pantai hingga ruang-ruang sempit di dalam penjara.
Belakangan , secara perlahan-lahan kita mengenal siapa Ishmael dan kepala geng mana yang tengah mengejar-ngejarnya dan siapa yang meletakkan peluru di kepalanya. Kita berkenalan dengan Lee (Sunny Pang) yang muncul dengan baju hitam sembari menenteng sebungkus mie goreng. Déjà vu?
Tentu saja. Banyak sekali elemen dalam film ini yang sangat mengingatkan kita pada film The Raid. Adil atau tak adil, tak mudah untuk memisahkan kemiripan film ini dengan The Raid (Gareth Evans). Sebetulnya Headshot menampilkan cerita yang tak kalah unik dengan koreografi yang spektakuler, terutama beberapa menit yang panjang di atas bis. Tetapi, tetap saja karena kebetulan Iko Uwais yang juga muncul dalam trilogi film laga karya Gareth Evans agak sulit untuk tidak membandingkan film ini dengan film-film Evans yang bukan hanya menggebrak Indonesia, tapi Hollywood.
Belum lagi scoring dan beberapa adegan yang menampilkan si bos dari dunia hitam yang menenteng sebungkus mie (yang tentu saja mengingatkan kita pada tokoh Ray Sahetapy yang menikmati mie instan sebelum menghajar kepala orang dengan palu). Ada pernik-pernik lain, misalnya beberapa frasa dialog bahasa Indonesia yang masih terasa sebagai terjemahan harafiah dari bahasa Inggris.
Duo sutradara Kimo Stamboel dan Timo Tjahjanto menyebut diri, yang kini memutuskan terjun ke dunia film laga sebetulnya adalah dua sutradara yang berbakat . Sebelumnya mereka menorehkan sidik jari mereka melalui film Rumah Dara dan Killers yang memperlihatkan kecenderungan pada genre horor slasher –kini dikenal sebagai film jagal. Tak pernah salah untuk melahirkan sebuah karya bertema sama, dengan bintang sama, dan bahkan dengan tim yang sama. Tetapi seorang sineas (dalam hal ini dua sineas) tentu juga ingin karyanya memiliki keunikan dan sidik jarinya. Karya yang membuat penonton segera merasa mengenali titik-titik khas milik sang sutradara, dan adegan-adegan yang langsung saja membuat kita malah merindukan karya sutradara lain (baca Gareth Evans), karena apa yang terjadi pada layar terasa sebuah ‘pinjaman’.
Di luar itu semua, bahwa Kimo dan Timo percaya bahwa perempuan adalah bagian penting dari film laga –Chelsea Island an Julie Estelle—mungkin sedikit membuat saya lega. Karena sudah terlalu lama film laga Indonesia didominasi pemeran lelaki melulu.
Tentu saja menyaksikan film ini tak berarti kita harus putus asa. Karya duo dinamis berikutnya, The Night Comes for Us pasti akan kita nantikan.
Leila S.Chudori