Panitia Angket Dewan Perwakilan Rakyat seperti kehabisan peluru untuk "menembak" Komisi Pemberantasan Korupsi. Ternyata, tak ada tekanan dari penyidik komisi antikorupsi terhadap Miryam S. Haryani, anggota DPR dari Partai Hanura yang merupakan saksi penting korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP).
Rekaman pemeriksaan terhadap Miryam yang diputar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Senin lalu, menunjukkan hal sebaliknya. Politikus yang kini menjadi terdakwa kasus kesaksian palsu itu justru menyebutkan adanya tekanan dari rekan-rekannya di DPR. Dalam rekaman pemeriksaan, Miryam mengakui diminta teman-teman agar tidak mengungkap anggota Dewan yang terlibat skandal korupsi yang merugikan negara Rp 2,3 triliun tersebut.
Bukti rekaman itu semakin membuat DPR kehilangan pijakan dalam menggunakan hak angket. Semula dugaan adanya tekanan dari penyidik terhadap Miryam menjadi salah satu alasan Dewan membentuk Panitia Angket untuk menyelidiki KPK. Komisi antikorupsi dianggap telah melanggar undang-undang dalam melaksanakan wewenangnya. Tak hanya menyoal proses penyidikan terhadap Miryam, Panitia Angket juga memanggil sejumlah orang bermasalah yang pernah diperiksa KPK.
Temuan yang didapat Panitia Angket sejauh ini hanya tuduhan tanpa bukti yang disampaikan bekas saksi atau tersangka yang pernah berurusan dengan penyidik KPK. Panitia Angket terkesan memanfaatkan kesaksian mereka untuk memojokkan KPK. Sebagian saksi yang dihadirkan dalam sidang Panitia Angket di DPR bahkan sudah dinyatakan bersalah lewat putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Pembentukan Panitia Angket diduga juga merupakan serangan balasan terhadap KPK yang membongkar korupsi proyek e-KTP. Ternyata, komisi antikorupsi berhasil menunjukkan bahwa skandal ini layak dibongkar tuntas. KPK bahkan telah menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus ini. Penyerangan terhadap Novel Baswedan, penyidik dalam kasus e-KTP, dan kematian janggal saksi kunci Johannes Marliem diduga juga berkaitan dengan skandal ini.
DPR seharusnya membubarkan Panitia Angket karena terkesan hanya mencari-cari kelemahan KPK. Dasar hukum mengadakan angket pun lemah. Sebab, KPK merupakan lembaga independen, bukan cabang eksekutif yang bisa dijadikan sasaran angket. Wilayah yang bisa diselidiki lewat hak angket itu sudah dibatasi secara jelas dalam Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dibuat politikus Senayan sendiri.
Mahkamah Konstitusi sebaiknya mencermati secara jeli soal keabsahan Panitia Angket itu. Permohonan uji materi sudah disampaikan, antara lain oleh karyawan KPK, yang mempersoalkan konstitusionalitas langkah DPR. Jangan biarkan komisi antikorupsi hancur karena manuver serampangan anggota DPR.