Roos Akbar
Guru Besar Perencanaan Kota ITB
Beberapa hari ini muncul polemik tentang pembangunan kota baru. Pernyataan "salah (tidak etis) menjual sesuatu yang belum ada izin" ditanggapi oleh pengembang bahwa itu adalah praktik yang biasa dalam pemasaran properti. Polemik yang terjadi sangat menarik dibahas dari sisi perizinan dalam penataan ruang.
Perencanaan tata ruang dilakukan untuk kesejahteraan masyarakat pada masa datang. Perencana merancang tujuan masa depan dengan melihat potensi sumber daya yang ada dan, yang paling penting, berdasarkan kesepakatan semua pihak. Perencana melihat sebuah kota atau kawasan tidak berdiri sendiri, melainkan melihatnya dalam suatu sistem. Untuk itu, kesesuaian rencana dengan rencana lainnya, termasuk rencana "di atasnya", selalu menjadi keharusan. Ini untuk menjaga agar semua rencana tadi menjadi saling menunjang dan bukan malah saling "mematikan". Rencana yang dibuat tentu harus menjadi rujukan utama dalam implementasinya. Dalam sistem perencanaan di Indonesia, hal itu dilakukan melalui proses perizinan.
Pendapat presiden bahwa rencana tata ruang jangan menjadi penghambat atau secara lebih spesifik presiden berpesan agar proses perizinan tidak menghambat investasi swasta, tidaklah berarti proses perizinan tidak perlu. Justru proses perizinan yang harus diperbaiki.
Proses menyusun rencana tata ruang harus diikuti dan dipahami oleh semua pemangku kepentingan. Tidak benar jika ide yang muncul tiba-tiba kemudian dipaksakan masuk ke sebuah rencana tata ruang yang sudah mempunyai kekuatan hukum (peraturan daerah). Ada proses/mekanisme untuk merevisi rencana. Namun perlu diingat bahwa sebuah rencana harus juga menjamin kepastian hukum atas izin dan/atau pembangunan yang telah dilakukan. Tidak boleh terjadi sebuah investasi yang dilakukan (diizinkan) di sebuah kawasan yang sesuai dengan tata ruang kemudian menjadi tidak menarik lagi karena tiba-tiba kawasan baru muncul dan menjadi daya tarik baru. Bukan hanya investasi yang menjadi tidak menarik lagi, tapi juga kesia-siaan infrastruktur yang telah dibangun (disiapkan) yang kemudian ditinggalkan.
Izin dalam konteks "teori" (secara ideal) sebenarnya dikenal ada beberapa. Izin prinsip adalah yang pertama. Izin ini seharusnya ada untuk menjawab apakah secara prinsip proposal pembangunan memang sudah sesuai dengan rencana tata ruang. Pada tahap ini sama sekali belum berbicara mengenai lokasi (site). Proposal untuk membangun kawasan industri di Jakarta, misalnya, pasti akan ditolak karena secara prinsip industri memang tidak akan dikembangkan di Jakarta. Proposal pembangunan kawasan perumahan di kawasan permukiman memang secara prinsip sesuai, tapi perlu dilihat apakah kawasan perumahan ini akan menampung 10 ribu penduduk atau 1 juta penduduk? Rencana penyediaan sarana dan prasarana untuk 10 ribu orang berbeda jika untuk 1 juta orang. Jadi, pada tahap ini, izin prinsip adalah untuk mempertimbangkan kesesuaian antara proposal pembangunan dan prinsip tata ruang dalam pengembangan kawasan tersebut.
Tahap selanjutnya adalah izin lokasi. Merujuk pada contoh sebelumnya, jika secara prinsip telah disetujui, pada tahap ini baru mulai membicarakan mengenai lokasi. Pada saat ini belum ada batas (delineasi lokasi) yang jelas. Tanah (lahan) belum dikuasai (belum dibebaskan). Selain itu, izin lokasi bukan merupakan hak monopoli, dalam artian pemegang izin lokasi saja yang punya hak untuk membeli (membebaskan) lahan. Silakan pemegang hak atau siapa pun juga membeli tanah di sana.
Jika izin lokasi telah didapatkan dan tanah yang dibutuhkan sudah dibebaskan (bisa saja proposal dengan batas tanah yang dibebaskan berbeda), tahapan selanjutnya adalah izin perencanaan. Proposal untuk mendapatkan izin perencanaan harus berisi rencana rinci (site-plan) yang menggambarkan secara jelas rencana pembangunan di kawasan yang sudah dibebaskan tersebut. Penilaian dilakukan, selain terhadap pemenuhan standar-standar pembangunan pada suatu kawasan, terutama yang paling penting adalah integrasi dengan kawasan di sekitarnya.
Terakhir adalah izin mendirikan bangunan-yang kita kenal dengan nama IMB-yang harus memenuhi persyaratan bangunan untuk keamanan bangunan dan lingkungan pada site tersebut.
Kembali pada hiruk-pikuk soal izin pembangunan kota baru. Memang tidak ada kota baru tanpa peran serta swasta. Banyak kegagalan pembangunan kota baru karena tidak ada peran swasta sama sekali. Namun kaidah dan prinsip penataan ruang tentunya harus menjadi pertimbangan utama. Terutama untuk menjaga arah dan pembangunan serta kesejahteraan masyarakat pada jangka panjang.