Pemerintah DKI Jakarta sebaiknya memikirkan ulang rencana memperluas larangan bersepeda motor hingga ke Jalan Sudirman, yang akan diuji coba pada 11 September mendatang. Alih-alih larangan tersebut mengurai kemacetan lalu lintas, malah mendatangkan lebih banyak kesulitan bagi masyarakat.
Pengguna jalan saat ini sudah terbebani oleh kian luasnya titik kemacetan di Ibu Kota sebagai dampak dari pekerjaan pembangunan infrastruktur. Ada lima proyek infrastruktur besar yang sedang berjalan: mass rapid transit, light rail transit, jalan layang, terowongan, dan pelebaran trotoar. Belum lagi ada proyek-proyek kecil, seperti galian kabel, yang membuat Jakarta kian semrawut.
Pengerjaan proyek yang berlangsung serentak tersebut mengganggu pergerakan kendaraan pribadi dan umum. Warga tidak punya pilihan yang paling efisien kecuali menggunakan sepeda motor. Persoalan lainnya adalah belum siapnya armada bus pengumpan. Tanpa bus pengumpan, penumpang kendaraan umum akan kesulitan berpindah dari stasiun kereta api ke terminal bus, misalnya. Begitu pula tiadanya lahan parkir di stasiun-stasiun kereta sehingga warga tak perlu memakai kendaraan pribadi.
Pembatasan jumlah kendaraan bermotor, baik mobil maupun sepeda motor, sebenarnya bisa diterima nalar sebagai salah satu cara mengatasi kemacetan lalu lintas.
Kemacetan di Jakarta yang semakin hari semakinparah memang harus segera diatasi. Pembatasan jumlah kendaraan memang mesti dilakukan. Data menunjukkan bahwa jumlah kendaraan di Jakarta dan sekitarnya bertambah 1 juta unit setiap tahun. Penambahan itu antara lain berupa sepeda motor 600 ribu unit, mobil 200 ribu unit, dan sisanya kendaraan jenis lain.
Kemacetan itu, kata Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, telah membuat kerugian mencapai Rp 65 triliun per tahun. Karena itu, sejak Desember 2014, kendaraan roda dua sudah dilarang melintas di sepanjang Jalan Thamrin hingga Merdeka Barat. Berlanjut dengan pembatasan pelat nomor ganjil-genap untuk mobil dari Jalan Sudirman hingga Merdeka Barat mulai Agustus 2016.
Namun pemerintah tak boleh membabi-buta mengeluarkan aturan pembatasan jumlah kendaraan. Dampak ekonominya bisa lebih parah. Semestinya pembatasan kendaraan yang lebih luas diberlakukan setelah pekerjaan pembangunan infrastruktur rampung agar keruwetan lalu lintas tak bertambah.
Ada baiknya pemerintah mengeluarkan aturan pembatasan jumlah kendaraan yang lebih mendasar. Contohnya, pemerintah bisa mengerem pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor dengan menaikkan tarif bea balik nama dan pajak kendaraan bermotor. Dengan beban biaya operasional yang tinggi, diharapkan minat masyarakat membeli kendaraan baru menyusut.
Catatan terakhir yang harus diperhatikan semua pemerintah daerah adalah membangun infrastruktur secara berkesinambungan. Menunda-nunda pembangunan terbukti menimbulkan masalah baru bagi kota.