Kata paling populer saat ini adalah ndeso. Ini kata sifat yang asalnya dari kata desa. Sebutan ndeso tentu khas Jawa, tapi bukannya tak ada di daerah lain. Di Bali tetap disebut ndesa. Saya ingin berbagi cerita tentang ini.
Sering kali orang-orang dewasa mengawali perkenalannya dengan menyebut "tiyang wong ndesa" (aku orang desa). Pada masa lalu, masih ada tambahannya, misalnya wong ndesa, wong tani, wong gunung (orang desa, petani, orang gunung). Sekarang tambahan itu nyaris hilang karena menjadi petani tak lagi populer.
Apakah ndesa itu penghinaan? Tidak, justru kebanggaan bahwa karakter orang desa yang polos dan jujur ada dalam ungkapan itu. Juga, menunjukkan bahwa orang desa masih memuliakan adat leluhur, meski ada kesan pengakuan merendahkan diri. Ini hanya soal basa-basi dalam pergaulan tradisional yang tak elok meninggikan diri saat memulai pertemanan.
Ungkapan wong ndesa tidak berkonotasi negatif. Kalaupun bernada umpatan, tidak ada yang marah karena menunjukkan keakraban. Contohnya, dua sahabat lagi makan di restoran. Yang satu kepedasan, temannya lalu nyeletuk: "Segitu saja pedas, dasar ndesa". Yang kepedasan tak tersinggung karena dalam konteks yang umum.
Tapi orang akan tersinggung jika konteksnya bertentangan dengan karakter yang selama ini dianggap "milik orang desa". Contohnya, ada demo yang dipenuhi teriakan memaki. Lalu ada penonton demo yang berkomentar: "Demo kok memaki begitu, dasar wong ndesa". Orang yang mendengar komentar ini bisa tersinggung: "Kamu jangan menghina orang desa, tak ada orang desa yang memaki-maki begitu."
Itu cerita dari Bali, di mana ungkapan wong ndesa banyak dijumpai dalam tembang-tembang untuk menceritakan ketenteraman pedesaan. Saya tak tahu persis apakah diksi ndeso di Jawa berkonotasi negatif untuk merendahkan orang desa atau tidak. Atau punya arti lain dan jadi simbol dari keakraban sehingga tak perlu dipermasalahkan, apa pun konteksnya. Banyak kata-kata "jorok" dipakai untuk keakraban dalam komunitas terbatas yang tak bisa diterima di komunitas atau budaya lain. Lagi-lagi saya memberi contoh di Bali Utara. Dua sahabat karib yang lama berpisah saat berjumpa mereka saling tegur: "Cicing mare ci ngenah ne," (Anjing, baru kamu kelihatan nih). Lalu mereka berpelukan. Kalau itu di Bali Selatan bisa ribut karena cicing berarti anjing. Betapa hina seseorang disebut anjing.
Bukankah kata asu (anjing) juga digunakan untuk keakraban di komunitas tertentu di Jawa? Tengoklah laman Butet Kartarejasa di Facebook. Dramawan ini mengumbar kata asu kepada temannya walau kini dipelesetkan jadi uasuwok. Juga, budayawan Sudjiwo Tejo yang memakai jancuk untuk menyapa pengikutnya di media sosial. Aslinya ini kata jorok di Surabaya yang tetap jorok untuk daerah budaya lain. Tapi Tejo, Sang Presiden Jancuker, tak pernah memanggil saya Cuk di media sosial. Juga, Butet tak menyertakan asu untuk membalas saya. Karena mereka tahu, meski saya tak mungkin marah, saya punya komunitas yang bisa terhina dengan sebutan itu dan melakukan protes.
Yang ingin saya katakan adalah mari kita selektif menggunakan kata ndeso, jancuk, asu, dan lainnya di media sosial yang tidak dibatasi oleh pertemanan, seperti YouTube-yang semua orang bisa memantaunya. Di area publik, kita mesti lebih sopan berbincang. Kesalahpahaman bisa terjadi karena faktor budaya, meski jika ada salah paham tak layak pula diproses ke ranah hukum. Jangan repotkan polisi mengurusi pengaduan seperti ini, sangat mengada-ada. PUTU SETIA