Putu Setia
@mpujayaprema
Cobalah cari arti kata genting di kamus online. Ada yang berarti kecil, tipis, sempit, misalnya dalam kalimat "pinggangnya genting". Ada yang berarti hampir putus dalam kalimat "tali ini genting". Aneh dan jarang dipakai dalam tulisan. Arti lain dari genting lengkapnya diuraikan begini: tegang; berbahaya (tentang keadaan yang mungkin segera menimbulkan bencana perang dan sebagainya).
Arti itu yang saya cari. Saya sedang bingung mencerna ucapan para politikus yang mengecam lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Kecaman itu menggunakan kata genting atau kegentingan. "Kegentingan apa yang memaksa Presiden Jokowi mengeluarkan perpu itu? Tidak ada yang genting," begitu ucapan seorang politikus.
Satu lagi tanggapan resmi dari Ketua Fraksi PKS, Jazuli Juwaini. "Apakah perpu benar-benar memenuhi syarat secara formil maupun materiil, tentu pemerintah harus bisa meyakinkan DPR adanya unsur kegentingan yang memaksa, berikut argumentasi filisofis, yuridis, dan sosiologisnya," kata Jazuli. Menurut dia, DPR bisa menolak perpu itu. Dan kalau itu terjadi, perpu tak bisa menjadi landasan hukum. Sedangkan pihak Istana menyebutkan perpu berlaku sejak diundangkan, yakni 10 Juli lalu.
Perpu tersebut dimaksudkan untuk menyederhanakan pembubaran ormas yang membuat tegang dan berbahaya bagi kelangsungan negeri berasaskan Pancasila ini. Sudah ada unsur genting menurut kamus, meski tanda-tanda ada perang sepertinya masih jauh. Barangkali uji materi perpu ke Mahkamah Konstitusi yang akan dilakukan ormas HTI menyertakan juga gugatan kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia. Supaya uraiannya lebih jelas sesuai dengan fungsi kamus.
Mari merenung sejenak. Organisasi massa alias ormas, baik yang berembel-embel agama maupun tidak, seharusnya untuk memperkuat negara kesatuan yang majemuk ini. Apa yang mereka perjuangkan seirama dengan perjuangan bangsa, ya untuk kesejahteraan umat, untuk kedamaian, ketenteraman, dan seterusnya. Sebagai bangsa, kita sudah punya dasar negara yang disepakati bersama, yakni Pancasila. Harganya tak bisa ditawar alias harga mati. Juni lalu, bukankah orang suka memakai slogan #SayaPancasila. Nah, kenapa kita harus berpaling ke lain asas?
Menolak Pancasila seraya menyebarkan ideologi baru yang bertentangan dengan kemajemukan, baik lewat pertemuan terbatas maupun di jalanan, jelas membuat tegang. Juga berbahaya. Pemerintah tak bisa cepat membubarkan ormas seperti itu, sementara yang menuntut ormas itu bubar semakin banyak. Undang-undang tentang keormasan terlalu ribet untuk membubarkan ormas yang membuat genting--tegang dan berbahaya. Kalau merevisi undang-undang lewat rancangan undang-undang, kapan selesainya di DPR. Wakil rakyat kita lagi kurang gairah menggarap undang-undang. Mereka lebih asyik ke sana-kemari mencari dukungan untuk melemahkan KPK. Barangkali seperti itu pikiran yang ada di pihak Istana. Maka, jalan pintas adalah penerbitan perpu.
Yang jadi masalah, apakah perlu menembak nyamuk dengan meriam? Kalau cuma satu atau dua ormas yang jadi sasaran tembak, kenapa harus dengan meriam, seperti perpu? Siapa yang bisa menjamin meriam ini tidak digunakan terus untuk, misalnya, membungkam ormas yang tak dikehendaki pemerintah? Yang dikhawartirkan nanti adalah Pancasila dijadikan amunisi untuk meriam, sedangkan rumusan apakah kita sudah Pancasilais atau tidak masih jadi debat panjang. Ini malah bikin genting.