Neles Tebay
Rektor Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur
Kekerasan negara terjadi lagi di Tanah Papua. Penembakan yang dilakukan anggota kepolisian dan Brigade Mobil di Kampung Oneibo, Kabupaten Deiyai, pada 1 Agustus 2017, menewaskan satu orang dan melukai 16 lainnya. Orang Papua akan mengingat peristiwa penembakan ini sebagai hadiah yang menyakitkan, yang diberikan negara dalam rangka perayaan ulang tahun ke-72 kemerdekaan RI.
Banyak orang menyayangkan terjadinya kekerasan ini. Yang lebih menyedihkan lagi, penembakan itu terjadi di antara sesama warga negara Indonesia (WNI). Yang menembak adalah WNI dan yang jadi korban bukanlah warga negara asing.
Keputusan Kepala Kepolisian Daerah Papua Boy Rafli untuk mencopot Kapolres Paniai dan Kapolsek Tigi dalam kaitan penembakan itu memperlihatkan keseriusan polisi dalam menangani kasus ini. Mungkin pelaku penembakannya pun, apabila sudah teridentifikasi, akan diberi sanksi. Kita memberikan apresiasi terhadap langkah-langkah yang ditempuh kepolisian. Tapi akankah langkah itu menghentikan kekerasan negara yang dilakukan anggota kepolisian di tanah Papua?
Penembakan itu telah memperpanjang daftar kekerasan negara yang dilakukan aparat keamanan, baik anggota TNI maupun Polri, terhadap orang Papua sejak 1963. Menurut laporan SETARA Institute, pada 2016 saja terjadi 68 kasus kekerasan negara terhadap orang Papua. Adapun sejak Oktober 2014 hingga Desember 2015 terjadi 16 tindakan kekerasan negara. Kekerasan itu mencakup pemukulan, penangkapan, penganiayaan, dan penembakan.
Masih ada potensi munculnya kekerasan negara terhadap orang Papua di masa depan, karena orang Papua masih dipandang sebagai musuh negara dan aparat keamanan masih mengandalkan senjata dalam berhadapan dengan mereka. Orang Papua dipandang sebagai musuh, terutama karena ada juga yang bergabung dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang memperjuangkan berdirinya negara Papua Barat. Karena kehadiran OPM ini, orang Papua, sekalipun tidak semuanya, dicurigai aparat keamanan sebagai separatis yang merupakan musuh negara. Maka, aksi kekerasan negara yang dilakukan aparat keamanan mendapat pembenaran. Kalau demikian, selama masalah separatisme Papua belum selesai, selama itu pula kekerasan negara akan dilakukan terhadap orang Papua.
Kita tidak mengharapkan terjadinya kekerasan negara yang mengorbankan sesama WNI di Bumi Cenderawasih. Kita juga tidak menghendaki ada WNI yang bersedih dan menderita karena kekerasan yang dilakukan aparat keamanan. Kita tidak ingin melihat anggota TNI dan Polri terus-menerus dikenai sanksi, seperti pencopotan dari jabatan atau pemenjaraan, setiap kali melakukan kekerasan. Kita menginginkan Papua menjadi tanah damai, tanah yang bebas dari kekerasan negara. Bagaimana caranya menghentikan dan mencegah kekerasan negara di sana? Menurut saya, ini memerlukan suatu solusi jangka panjang.
Pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah, mesti mengambil inisiatif untuk memulai proses pembahasan solusi ini. Pemerintah adalah salah satu, bukan satu-satunya, pemangku kepentingan. Maka, ia perlu melibatkan pemangku kepentingan lain, seperti orang Papua yang hidup di kampung-kampung, orang Melayu yang hidup di Tanah Papua, anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) yang bergerilya di hutan, kelompok-kelompok perlawanan Papua yang kini bersatu dalam wadah United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang aktif melakukan kegiatan diplomasi di luar negeri, pemerintah daerah, serta perusahaan multinasional dan domestik yang mengeksploitasi kekayaan alam di sana.
Setiap pemangku kepentingan perlu diberi ruang secukupnya untuk membahas dan merumuskan pendapat kolektifnya tentang jalan penghentian dan pencegahan kekerasan negara. Karena itu, keterlibatan semua pemangku kepentingan ini perlu dipersiapkan dengan baik. Guna menangani keseluruhan proses pembahasan hingga menghasilkan suatu kebijakan, Presiden Jokowi perlu mengangkat seorang pejabat tinggi sebagai person in charge. Dia ditugasi khusus untuk menyelesaikan konflik Papua, termasuk menghentikan dan mencegah kekerasan negara, dalam periode dua tahun mendatang.
Dia dapat membuka komunikasi politik dengan berbagai pihak. Dia mempersiapkan, merencanakan, dan merancang pertemuan bagi setiap pemangku kepentingan. Dengan demikian, solusi jangka panjang yang dihasilkan adalah suatu kebijakan yang dibahas dan disepakati oleh semua pemangku kepentingan. Kebijakan seperti itu, saya percaya, akan menghentikan dan mencegah kekerasan negara di Tanah Papua. Tanpa solusi jangka panjang, kekerasan negara akan terus terjadi sana.