Kebijakan menaikkan alokasi anggaran negara buat partai politik sebetulnya bagus untuk mencegah korupsi di kalangan politikus. Hanya, kenaikan seharusnya dilakukan secara bertahap dan disertai tuntutan agar partai politik membenahi diri.
Pemerintah menyetujui kenaikan jatah anggaran bagi partai politik sebesar hampir 10 kali lipat. Semula dana bantuan negara sebesar Rp 108 untuk setiap suara yang diperoleh partai dalam pemilu, tapi mulai tahun depan nilainya dinaikkan menjadi Rp 1.000. Artinya, saban tahun pemerintah harus mengeluarkan Rp 124,9 miliar untuk semua partai yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat. Angka ini belum termasuk dana bagi pengurus partai politik di provinsi dan kabupaten yang diperoleh dari anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Angka itu relatif kecil jika dibandingkan dengan total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018 yang diproyeksikan mencapai Rp 2.204,3 triliun. Namun penghematan sekecil apa pun amat berarti ditengah defisit anggaran negara yang semakin lebar. Dalam Rancangan APBN tahun depan, defisit dipatok 2,14 persen dari produk domestik bruto atau tak boleh melebihi Rp 325,9 triliun. Bila proyeksi pendapatan meleset, bukan tak mungkin angkanya membengkak seperti tahun ini- dari 2,41 persen menjadi 2,92 persen.
Untuk menghemat anggaran, kenaikan dana untuk partai politik bisa dilakukan secara bertahap sambil menyempurnakan pola pemberian bantuan. Jika tujuannya untuk mencegah korupsi, ketentuan pembagian dana seharusnya dikaitkan dengan tujuan mulia ini. Cara membagi bantuan sebaiknya tidak semata-mata didasarkan pada perolehan suara partai dalam pemilu, tapi juga perlu ditambah variabel lain, seperti kesungguhan kalangan partai politik dalam menghindari korupsi.
Jumlah bantuan bisa dikurangi jika banyak politikus dari suatu partai terlibat dalam kasus korupsi. Sebaliknya, pemerintah bisa memberikan tambahan bantuan bagi partai yang benar-benar antikorupsi dan transparan dalam melaporkan keuangannya. Selama ini pengelolaan keuangan partai dianggap buruk. Sebagian partai politik bahkan tak mau membuka catatan keuangannya. Padahal, sebagai pemakai anggaran negara, partai politik wajib membeberkan keuangannya kepada publik.
Pemerintah juga bisa memberikan syarat lain, seperti kesungguhan partai politik dalam mendorong perempuan masuk ke dunia politik. Kandidat perempuan seharusnya tidak hanya dipasang sebagai pelengkap kuota 30 persen, tapi juga perlu ditaruh di nomor urut atas dalam pemilu legislatif agar peluang terpilih lebih besar.
Banyak kelemahan partai politik yang perlu dibenahi demi mewujudkan demokrasi yang lebih berkualitas. Pemerintah semestinya menggunakan anggaran negara demi mendorong partai politik berbenah. Menghamburkan anggaran negara untuk partai secara berlebihan dan tanpa ada syarat yang ketat sungguh tidak bijak.