Tiga agama, sebuah polemik tentang iman, sebuah bangsa yang hilang.
Barangkali itu ikhtisar kasar riwayat bangsa Khazar: kaum setengah nomad yang hidup di Rusia Selatan dan kemudian membangun sebuah imperium, Khazaria, yang terbentang luas-tapi kemudian kalah, musnah, tak berjejak, bahkan bahasanya tak berbekas lagi.
Yang tersisa hanya data tercerai-berai yang mungkin bukan data, dongeng yang tersembunyi dalam dongeng-yang dihimpun, atau digubah, Milorad Pavi dalam Hazarski recnik, sebuah novel Serbia berbentuk "kamus" yang terjemahan Inggrisnya, Dictionary of the Khazars, terbit pada 1988. Dalam "novel-leksikon dengan 100.000 kata" ini sejarah dan fiksi pada akhirnya satu narasi yang tak penting, ya, tak penting-kecuali sebagai pesona.
Pesona itu kadang-kadang takjub, kadang-kadang geli, kadang-kadang ngeri-mirip dalam novel realisme-magis Seratus Tahun Kesendirian Gabriel Garcia Marquez-dan acap merupakan kesan-kesan yang tak bersambung. Tentang kaum pemburu mimpi, tentang Putri Ateh yang sebelum tidur pelupuk matanya dicat dengan huruf aneh oleh pelayan buta (dan siapa yang membacanya akan mati), tentang tahun yang diciptakan Dewa Garam, tentang seseorang yang "menulis di dalam sangkarnya dengan menggunakan gigi untuk mengerat huruf ke cangkang kepiting...".
Dimulai dengan sebuah mimpi.
Pada suatu hari, raja orang Khazar-disebut "khagan"-bermimpi: seorang malaikat memberi tahunya bahwa Tuhan senang kepada niat sang raja, tapi tak senang kepada apa yang dilakukannya. Sang Khagan pun mengundang seorang filosof Yunani, seorang padri Kristen, dan seorang theolog Islam. Ia ingin tahu sistem kehidupan yang mana yang paling masuk akal.
Tak puas dengan jawaban ketiga orang pandai itu, ia pun mengundang seorang rabi Yahudi. "Semula aku tak hendak bertanya kepada orang Yahudi yang mana pun," katanya, "karena aku sadar akan keadaan mereka yang rudin dan pandangan mereka yang sempit...."
Tapi ternyata rabi itu yang berhasil.
Sebagaimana terdapat dalam Kitab al-Khazari yang di tahun 1140 ditulis dalam bahasa Arab oleh penyair Yahudi Judah ha-Levi-yang jadi salah satu sumber novel Milorad Pavi-disebutkan bahwa ternyata argumen rabi itulah yang paling meyakinkan sang Khagan. Maka raja dan rakyatnya pun meninggalkan agama tradisional mereka dan memeluk Yudaisme.
Kelak kemudian hari, dengan pilihan ini, mereka menemukan nasib terakhir.
Pada suatu hari, pasukan Rusia datang membinasakan mereka. Seorang komandan militer abad ke-10 "menelan Imperium Khazar seperti menelan sebutir apel, tanpa turun dari kudanya". Rumah dan bangunan dihabisi, ibu kota dibumihanguskan. Bayangannya, tulis Pavi, "bertahan di latar langit bertahun-tahun, meskipun gedung-gedung itu sendiri sudah hancur".
Tak ada yang tersisa-atau ada: tiga buku yang disusun setelah mimpi sang Khagan, berupa polemik ketiga agama yang berebut pengaruh di depan Raja Khazar. Tiga buku: tiga ensiklopedia mini yang masing-masing memaparkan isi secara sepihak tentang satu kejadian, satu perkara, satu tokoh. Tiga jilid: Merah, Kristen; Kuning, Yahudi; Hijau, Islam. Masing-masing disusun secara abjad. Di antara ketiga ensiklopedia itu, tak satu pun entri punya keterangan yang cocok.
Edisi asli buku itu hilang. Kamus yang disusun Pavi dinyatakan sebagai rekonstruksi sebuah kitab yang dikatakan pernah terbit di tahun 1691-yang juga merupakan versi baru dari versi yang hilang delapan abad sebelumnya.
Konon ensiklopedia purba ini sebuah koleksi hasil pengamatan tentang mimpi-"bersama biografi para pemburu yang paling terkemuka dan tangkapannya". Ia disusun Putri Ateh dan kekasihnya, Mokaddasa al-Safer, seorang pemburu mimpi yang legendaris....
Apa sebenarnya yang kita dapat dari kamus/kisah/fantasi/mimpi/deretan informasi yang terkadang tak berhubungan itu?
Banyak, atau nihil. Novel Pavi menyerahkan kepada kita bagaimana cara membacanya, apa makna yang kita dapat dari dalamnya, dan mana yang kita pilih untuk kita ketahui atau tak kita ketahui.
Ya, memang begitu adat kamus, apalagi Dictionary of the Khazars: informasi tanpa fokus, novel tanpa alur, sejarah tanpa kronologi. Tiap-tiap pembaca, kata Pavi, akan menyusun sendiri bukunya, "Seperti dalam permainan domino atau kartu, dan, seperti halnya dari cermin, ia akan mendapatkan dari kamus ini sebanyak yang ia masukkan ke dalamnya."
Sama halnya dengan penganut ketiga agama ketika mereka berpolemik di Khazar-atau di mana saja. Sebab dalam diri mereka, dalam diri kita, selalu ada paradoks pohon-pohon:
"...lebih tinggi kita tumbuh ke langit, melalui angin dan hujan menuju Tuhan, lebih dalam kita harus terperosok bersama akar kita ke dalam lumpur dan air tanah menuju Neraka."
Goenawan Mohamad