Prestasi atlet Indonesia di SEA Games Malaysia memprihatinkan. Perolehan medali emas meleset dari target. Hanya mendulang 38 medali emas dari 55 yang ditargetkan. Wapres Jusuf Kalla sangat kecewa. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai "darurat olahraga".
Singapura berada di urutan keempat dengan medali emas jauh lebih banyak. Padahal negara pulau ini luasnya hanya 719 km persegi, sedikit lebih luas dari Jakarta. Penduduknya pun cuma 6 juta, separuh penduduk Jakarta. Kok bisa lebih maju ketimbang Indonesia yang punya 17 ribu pulau?
Wajar Menteri Olahraga Imam Nahrawi meminta maaf. Agar maafnya lebih mudah diterima rakyat, ia langsung menohok sumber masalah: dana pemerintah yang terbatas. Lalu, ia pun menjanjikan terobosan: membentuk Lembaga Pendanaan Khusus Olahraga. Intinya, urusan olahraga jangan mengandalkan pemerintah. Tak disebutkan dari mana sumber uang. Rasanya tak mungkin dari judi seperti SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) di masa lalu, atau tebak-tebakan hasil pertandingan. Kalau ini dilakukan, hasil pertandingan bisa direkayasa. Berbahaya.
Permintaan maaf Imam Nahrawi setidaknya membuat masyarakat tahu apa penyebab keterpurukan para atlet. Apalagi ada atlet peraih medali emas yang mengeluh di media sosial, uang saku dan biaya hotelnya selama berlatih sejak Januari belum dibayar. Kalau urusan sepele itu telantar, bisa dibayangkan suasana latihan. Atlet tak bisa berkonsentrasi. Apalagi peralatan latihan tak memenuhi standar.
Presiden Jokowi belum ada komentar soal "darurat olahraga" ini. Barangkali, maklum saja, dana memang terbatas. Jokowi sedang gencar membangun infrastruktur. Jalan tol di darat dan tol laut dikebut di mana-mana. Itu butuh biaya besar. Presiden mau harga BBM di seluruh Indonesia sama besarnya, dan itu butuh subsidi transportasi yang tak sedikit.
Tahun depan kita jadi tuan rumah Asian Games. Menjadi juara tentu ibarat pungguk merindukan bulan. Bertahan di peringkat kelima saja sudah prestasi bagus, karena negara peserta lebih banyak. Apalagi dana pasti juga terbatas. Keuangan negara tak begitu bagus, utang semakin banyak yang harus dibayar. Apalagi DPR semakin manja. Minta gedung baru, minta alun-alun, minta apartemen. Oh, juga minta biaya jalan-jalan ke luar negeri diperbesar. Bagaimana menaikkan dana untuk olahraga?
Lagi pula dana untuk olahraga tersedot ke sarana infrastruktur, misalnya merenovasi stadion dan berbagai lapangan. Dana untuk atlet makin berkurang. Karena itu, masuk akal kalau Menpora akan membuat lembaga baru pencetak uang, Lembaga Pendanaan Khusus Olahraga.
Kok Menpora repot sendiri? Siapa sebenarnya yang bertanggung jawab mengurusi olahraga di Tanah Air? Menpora menyebutkan kementeriannya bertanggung jawab. Tapi kita masih punya KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia). Bahkan ada pula KOI (Komite Olimpiade Indonesia). Tugas pokok KONI- mengutip peraturan pemerintah- adalah merencanakan, mengkoordinasikan, serta melaksanakan pembinaan dan peningkatan prestasi atlet, kinerja wasit, pelatih, dan manajer, guna mewujudkan prestasi keolahragaan nasional menuju prestasi internasional, serta turut memperkokoh persatuan dan ketahanan nasional dalam rangka mengangkat harkat serta martabat Indonesia. Semua cabang olahraga berinduk ke KONI, bukan ke Kemenpora. La, apa kerja KONI selama ini? Kenapa bukan KONI yang disuruh mencari dana?
Atau, bubarkan KONI, biar jelas, kalau Indonesia juara, tak semua orang merasa berjasa. Jadi, hanya satu instansi mengurusi olahraga. Atau Kementerian Olahraga yang dibubarkan?