Nirwono Joga
Koordinator Kemitraan Hijau
Bulan Tertib Trotoar telah berakhir. Hasil evaluasi pemerintah DKI Jakarta menunjukkan banyak warga belum patuh terhadap pemanfaatan badan trotoar. Pelanggaran terbesar berupa pedagang kaki lima (PKL) yang masih berjualan di trotoar, disusul kendaraan bermotor yang tetap abai parkir atau menerobos masuk trotoar.
Satu bulan penertiban trotoar tentulah tidak cukup, mengingat pelanggaran pemanfaatan trotoar terjadi masif di hampir seluruh penjuru kota dan sudah mengakar lama di benak masyarakat. Lalu apa yang harus dilakukan?
Pertama, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, polisi harus terus bertindak tegas dengan menilang para pelanggar, dari memberi teguran hingga penyitaan surat izin mengemudi (SIM) atau surat tanda nomor kendaraan (STNK), sehingga mereka jera dan takut untuk mengulangi pelanggaran. Penilangan harus dilakukan setiap saat, kapan saja, dan di mana saja setiap ada pelanggaran.
Kedua, dinas perhubungan bertugas menertibkan kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat yang parkir di trotoar, dari operasi cabut pentil, penggembokan roda, hingga penderekan, serta peniadaan pangkalan ojek. Dinas dapat bekerja sama dengan pengelola stasiun kereta api, terminal bus, gedung perkantoran, sekolah, pasar, dan pusat belanja untuk menyediakan tempat parkir sementara angkutan berbasis aplikasi online agar tidak memenuhi trotoar dan tepi badan jalan.
Ketiga, berbekal Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Ketertiban Umum di Wilayah DKI Jakarta, Satuan Polisi Pamong Praja dibantu dinas koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah serta aparat kelurahan dan asosiasi PKL merelokasi PKL, warung, bengkel, pedagang tanaman hias, dan kegiatan komersial lain. Para pedagang didata dan dipetakan untuk didistribusikan secara merata ke pasar rakyat, pasar modern, pusat belanja, kompleks pertokoan, gedung perkantoran, atau diikutkan dalam berbagai festival rakyat.
Keempat, pemerintah DKI terus didorong untuk menertibkan, menata, dan membangun lebih banyak lagi trotoar. Jalan arteri di Jakarta memiliki panjang 1.300 kilometer, maka trotoar yang harus dibangun sepanjang 2.600 kilometer (kiri dan kanan jalan). Tapi kini baru 10 persen trotoar yang dibangun.
Untuk itu, pemerintah harus membuat rencana induk infrastruktur trotoar dan jaringan utilitas yang terpadu sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/M/2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan. Semua pemangku kepentingan yang memanfaatkan badan trotoar wajib mengikuti rencana induk.
Kelima, detail teknis trotoar dan pembagian tugas dinas teknis. Pada bagian atas, badan trotoar selebar 5-8 meter dan dalam 2-3 meter serta jembatan penyeberangan orang dibangun oleh dinas bina marga. Halte bus, penempatan rambu dan marka lalu lintas, zebra cross, serta lampu lalu lintas ditangani dinas perhubungan. Penerangan jalan oleh dinas energi. Pohon peneduh dan jalur hijau diurus dinas kehutanan dan pertamanan. Papan reklame oleh badan pajak dan retribusi daerah.
Di bagian bawah trotoar, saluran air berdiameter 3 meter dibangun oleh dinas sumber daya air. Sisi kiri untuk penempatan kabel listrik oleh PLN, telepon oleh Telkom, dan serat optik oleh penyedia jaringan optik. Sisi kanan untuk pipa gas Perusahaan Gas Negara dan air bersih Perusahaan Daerah Air Minum. Dengan demikian, ke depan, kegiatan perbaikan, pemeliharaan, dan pengembangan jaringan utilitas sudah tidak perlu lagi bongkar-pasang trotoar, yang sering mengancam keselamatan pejalan kaki.
Keenam, trotoar harus ramah untuk semua orang, termasuk anak-anak, ibu hamil, orang lanjut usia, dan penyandang disabilitas. Permukaan trotoar harus rata, tidak naik-turun atau terputus oleh masuk-keluar bangunan. Tekstur lantai kasar/tidak licin serta dilengkapi lantai pemandu penyandang disabilitas dan bangku pelepas lelah.
Pengembangan jaringan utilitas dilakukan secara bertahap di bawah trotoar. Penempatan tiang rambu lalu lintas, lampu penerangan jalan, papan reklame, halte, jembatan penyeberangan, dan zebra cross diatur terpadu, rapi, dan terintegrasi dengan sirkulasi pejalan kaki dan jaringan angkutan umum.
Ketujuh, budaya berjalan kaki sudah harus mulai diajarkan sejak anak-anak sekolah. Dengan berjalan kaki di trotoar, anak-anak dapat merasakan keadaan kota sesungguhnya, sehingga mereka dapat menuntut agar fungsi trotoar dikembalikan.
Kedelapan, keseriusan pemerintah dalam membangun trotoar dibuktikan dengan alokasi dana pembangunan trotoar yang memadai. Pembangunan trotoar yang tengah giat dilakukan pemerintah daerah tidak akan berhasil tanpa didukung penertiban yang berkelanjutan dan penegakan hukum yang konsisten, yang pada akhirnya akan memerdekakan pejalan kaki.