Kematian Tiara Debora memperlihatkan buruknya layanan gawat darurat di rumah sakit. Bayi empat bulan itu meninggal setelah Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta Barat, diduga menolak merawatnya di Pediatric Intensive Care Unit. Pemerintah perlu menelusuri kasus ini dan bertindak tegas agar kejadian serupa tidak terulang.
Penolakan itu dikabarkan muncul karena orang tua sang bayi tidak mampu membayar biaya perawatan Rp 19 juta. Alasan seperti ini jelas tidak bisa dibenarkan, sekalipun RS Mitra Keluarga bukanlah rekanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sebab, Tiara tergolong pasien yang memerlukan layanan kesehatan darurat. Sebelumnya ia lahir prematur dan memiliki masalah jantung.
Pihak rumah sakit seharusnya merawat Tiara secara optimal hingga kondisinya stabil, kemudian baru memberi rujukan ke rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Biaya perawatan darurat itu bisa ditagihkan ke BPJS. Hal ini diatur jelas dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 mengatur hal serupa. BPJS Kesehatan pun telah mengedarkan panduan khusus mengenai layanan kesehatan darurat di rumah sakit yang tidak bekerja sama dengan lembaga tersebut.
Kasus penolakan juga pernah terjadi di Kota Bekasi, Juni lalu. Kendati memiliki kartu BPJS, Reny Wahyuni, yang mengalami gangguan kehamilan, sempat ditolak tujuh rumah sakit. Setelah tiga hari mencari rumah sakit, ia akhirnya dirawat di RSUD Koja, Jakarta Utara. Reny langsung menjalani operasi caesar. Hanya berselang beberapa menit setelah operasi itu, bayi perempuan yang ia lahirkan meninggal karena gangguan pernapasan.
Lambatnya BPJS membayar tagihan sering dijadikan alasan rumah sakit swasta untuk menolak pasien. Kelemahan ini perlu diperbaiki. Hanya, pihak rumah sakit tidak bisa menggunakan hal tersebut sebagai dalih untuk mengabaikan kewajiban mereka: menyelamatkan pasien gawat darurat. Pertolongan harus diberikan ke pasien tanpa menanyakan kesanggupan membayar, apalagi memungut uang muka.
Pemerintah harus bertindak lebih tegas terhadap rumah sakit yang menelantarkan pasien. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, pasien berhak mendapat layanan gawat darurat sesuai dengan kemampuan pelayanan rumah sakit. Rumah sakit yang melanggar ketentuan ini bisa dijatuhi sanksi mulai dari teguran hingga pencabutan izin.
Undang-Undang Kesehatan menyediakan sanksi hukum yang lebih berat. Sesuai dengan pasal 190 undang-undang tersebut, pemimpin rumah sakit bisa diancam dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 2 miliar jika secara sengaja tidak memberi pertolongan pertama hingga menyebabkan pasien meninggal.
Hanya dengan tindakan tegas pemerintah terhadap rumah sakit yang nakallah, tragedi seperti yang dialami Tiara Debora bisa dicegah.