Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Celah yang Tak Siap

Oleh

image-gnews
Iklan

17 Agustus 1945 adalah awal sejarah yang tak utuh. Tiap tahun kita diingatkan adanya konflik menjelang pembacaan proklamasi di Jalan Pegangsaan, Jakarta, hari itu. Tiap tahun kita sadar, bangsa dan republik bukan benar-benar sebuah konsensus- meskipun ajaib atau tidak, hari ini Indonesia yang satu bangsa, satu tanah air, berusia 72 tahun.

Kita bersyukur, meskipun kita bisa bertanya: kenapa? 17 Agustus 1945 bukan celah yang siap. Di satu pihak ada sejumlah wakil masyarakat dan pemimpin pergerakan nasional yang sejak sekitar tiga bulan sebelumnya bertemu di sebuah gedung di Jalan Pejambon. Mereka bersidang mempersiapkan berdirinya sebuah negara merdeka, termasuk menyusun konstitusi; dan kita ingat di sana pula Pancasila dikumandangkan Bung Karno.

Para pemimpin di Pejambon itu tahu, kemerdekaan sudah dekat; penguasa pendudukan Jepang sudah menjanjikannya. Hasrat dan harapan makin mendesak-desak. Tapi mereka ibarat arsitek yang menyiapkan bangunan besar. Pemerintah pendudukan Jepang menghimpun mereka (62 orang jumlahnya, termasuk Bung Karno dan Bung Hatta) dalam "Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia": kata "penyelidik" dan "persiapan" menunjukkan niat saksama dalam mereka bekerja. Kemerdekaan, bagi mereka, bukan sebuah puisi ekspresionis.

Di luar mereka ada kekuatan yang bukan arsitek, bukan perancang: kelompok yang disebut "pemuda", yang punya daya pukaunya sendiri. Merekalah pemain utama dalam perubahan yang besar tahun 1945. Dalam usia antara belasan dan dua puluhan, mereka adalah gelora, lahir dari protes dan cita-cita yang tak gentar.

Mereka pelawan. Mereka tak menghendaki kekuasaan Jepang membidani kemerdekaan bangsa yang sedang akan bersama-sama dilahirkan. Mereka anggap orang-orang yang lebih tua yang berkumpul di Pejambon itu salah jalan.

Mereka mendesak, nyaris memaksa, Bung Karno dan Bung Hatta mengikuti jalan mereka: menyatakan kemerdekaan tanpa Jepang ikut serta di belakang. Mereka culik kedua pemimpin itu dan mereka simpan di sebuah rumah milik seorang Tionghoa di Rengasdengklok, empat jam perjalanan mobil jaraknya dari Jakarta.

Tapi dengan segala gerutu dan kritik, mereka masih percaya kepada Bung Karno dan Bung Hatta yang berani dipenjara dan dibuang untuk kemerdekaan ketika pemuda-pemuda itu masih bocah. Segera kedua pemimpin itu mereka lepaskan tanpa dicederai- dan tanpa hasil. Desakan mereka tak terpenuhi. Setidaknya di rumah di Rengasdengklok itu.

Tapi mereka tak bisa diabaikan. Buku Konflik di Balik Proklamasi, yang disusun St. Sularto dan D. Rini Yunarti, memuat satu kesaksian dari Shigetada Nishijima tentang kekuatan para pemuda di hari-hari itu.

Orang Jepang ini akrab dengan proses menuju Proklamasi. Ia juga dekat dengan aktivis pro-kemerdekaan Indonesia. Tampaknya ia punya tendensi itu. Di masa muda, ia dikeluarkan dari sekolah karena bersimpati kepada gerakan sosialis. Ia pun jadi buruh pabrik es di Oshima. Sejak 1937, ia pindah ke Jakarta dan Bandung, bekerja di sebuah toko Jepang. Di tahun 1941 ia direkrut Laksamana Maeda, perwira tinggi AL Kekaisaran Jepang di Jakarta, untuk bekerja buat dinas intelijen. Ketika Jepang menyerang Hindia Belanda, ia ditangkap pemerintah kolonial, disingkirkan ke Australia. Berkat pertukaran tawanan perang, ia bisa balik ke Batavia sebagai bagian dari Angkatan Laut Jepang. Ia bekerja di kantor Bukanfu (Liaison Office) di bawah pimpinan Laksamana Maeda.

Nishijima orang kepercayaan laksamana itu. Ia berbahasa Indonesia dengan baik, bergaul dengan kalangan pergerakan nasional, dan ia tampak cukup tahu tentang gerakan pemuda. Para "revolusioner muda" itu, kata Nishijima, "di mana-mana mempunyai pengaruh di kalangan Peta dan Heiho yang semuanya masih bersenjata dan total berjumlah paling sedikit 50 ribu orang di seluruh Jawa". Ancaman pemberontakan dari kalangan ini- yang menolak rancangan Jepang- cukup mencemaskan. Presedennya sudah ada: 14 Februari 1944, 360 prajurit dan perwira Peta yang dilatih Jepang memberontak di Blitar.

Tapi Agustus 1945 itu tak ada Blitar baru. Penguasa militer Jepang sudah mengantisipasinya: kata Nishijima, 300 sampai 500 tentara disiapkan hanya untuk menjaga stasiun radio Jakarta. Sangat mungkin kesiapsiagaan tak cuma itu.

Dalam situasi politik yang sudah dikendalikan, Bung Karno dan Bung Hatta bertemu kembali dengan perwakilan para pemuda. Kali ini di rumah kediaman Laksamana Maeda di jalan yang kini disebut Jalan Imam Bonjol, Jakarta. Para pemuda tetap mendesak, tapi tak mudah. Pertemuan itu dihadiri sejumlah pejabat Jepang. Teks proklamasi, yang drafnya ditulis tangan Bung Karno, pendek- cuma dua paragraf- menunjukkan negosiasi alot yang berlangsung.

Ada kata-kata yang dicoret dan diperbaiki; para pejabat Jepang tak menyetujui kata-kata yang memberi kesan bahwa kemerdekaan Indonesia berlangsung secara radikal justru di bawah pengawasan mereka; mereka tak mau kelak dihukum kekuasaan Sekutu yang akan masuk ke Indonesia sebagai pemenang Perang Pasifik- yang sangat mungkin hendak memulihkan kekuasaan Belanda, sebagai anggota Sekutu, di Indonesia.

Tapi juga ada hal-hal yang tampaknya lebih baik tak dikemukakan secara rinci saat itu- mungkin buat menghindari perbantahan rumit yang akan menggagalkan niat pertemuan di rumah Maeda itu. Maka lahirlah frasa yang tak begitu tegas, tak spesifik: "Hal-hal yang menyangkut pemindahan kekuasaan d.l.l...."

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi dengan itu teks proklamasi itu disetujui yang hadir: sebuah teks yang belum selesai demi sebuah konsensus. Bahkan di dalamnya ada pertemuan dua semangat yang bertentangan: semangat "dengan cara yang saksama" dan semangat revolusioner, lekas dan tegas: "dalam tempo yang sesingkat-singkatnya".

Mungkin juga Bung Karno dan Bung Hatta, yang aktif dalam panitia persiapan kemerdekaan, menyadari itu. Tapi mereka berniat melengkapi yang kontradiktif, tak jelas, dan belum selesai itu dengan hasil pertemuan di Pejambon.

lll

Tapi pertemuan di Pejambon pun akhirnya tak menghasilkan sebuah desain yang siap. Badan yang kemudian diberi nama Panitia Persiapan Kemerdekaan itu sebenarnya tak mewakili semua aspirasi di masyarakat. Ada yang absen: para tokoh sayap kiri, kaum komunis dan sosialis.

Kalangan komunis, bergerak untuk kemerdekaan sejak partai mereka berdiri di tahun 1914, dengan nama ISDV (Indische Democratische Vereeniging), adalah kekuatan yang nyata. Di tahun 1924 partai yang pernah aktif di bawah tanah itu memiliki 1.140 kader, lebih besar ketimbang anggota Partai Komunis Tiongkok yang waktu itu hanya 900.

Memang posisi politik mereka tak ajek. Setelah gagal memberontak di tahun 1926- dan pemerintah membuang ratusan kader Partai ke Digul PKI praktis tersisih dari pergerakan nasional umumnya. Perpecahan bahkan terjadi: apa yang disebut "pengkhianatan Tan Malaka". Tan Malaka, yang membentuk PARI (Partai Republik Indonesia), dianggap PKI sebagai "Trotskyist", tuduhan yang biasa diberikan kepada orang Partai yang dimusuhi sang pemimpin di mana saja, dimulai di Rusia.

Tan Malaka jadi kian misterius. Ia malah mungkin terisolasi. Perannya selama menjelang 17 Agustus 1945 tak jelas; bahkan ada indikasi ia tak mendapat informasi yang cukup. Sementara itu, sayap kiri lainnya- terutama anggota PKI di bawah tanah--tak siap. Dalam sebuah pidato memperingati partainya, D.N. Aidit mengakui, di masa Jepang itu, kaum komunis "masih tetap tidak berpengalaman dalam pembangunan Partai dan tidak berpengalaman dalam perjuangan bersenjata".

Aidit sendiri diketahui ikut aktif di kalangan pemuda menjelang 17 Agustus 1945. Tapi penguasa Jepang, dengan fasismenya, memusuhi dan dimusuhi kaum komunis. Tak mengherankan bila tak ada yang diajak dalam pertemuan di Pejambon.

Kekosongan itu membuka retakan lain dalam konsensus 1945. Oktober-November 1945, segera setelah kekuasaan Jepang selesai, di pantai utara Jawa meletus yang kemudian disebut "Peristiwa Tiga Daerah". Di Brebes, Tegal, Pemalang, orang ramai bangkit, membalas yang selama ini ditanggungkan: kemiskinan dan ketidakadilan. Wedana, camat, kepala desa, polisi, dan pejabat lokal lain, juga keturunan Tionghoa dan Belanda, jadi sasaran kemarahan, dijarah dan dibunuh. Para pelawan bahkan menyerang markas Tentara Keamanan Rakyat yang dibentuk Republik Indonesia yang baru berdiri.

Mirip dengan itu, di tahun 1946, "revolusi sosial" meletus di Sumatera Timur. Istana Sultan diserbu, 140 orang aristokrat dibunuh. Besar kemungkinan dalam kedua "revolusi" itu, kekuatan sayap kiri bergerak.

Demikianlah, mereka yang tak masuk hitungan, yang disisihkan, menegaskan diri, membobol partage yang ada. Juga ketika Kartosuwiryo merasa cita-citanya terpotong Republik yang lahir dari proklamasi: agenda Darul Islam. Sejak 1949 sampai dengan 1962, Kartosuwiryo melancarkan perang gerilya terhadap Republik- dengan korban beribu-ribu di kedua pihak.

Konsensus 1945, seperti tiap konsensus, menyebabkan ada yang terpaksa atau sengaja disisihkan. Seperti revolusi dan kemerdekaan di mana-mana, tak ada kemufakatan yang selesai untuk selamanya. Konflik tak pernah habis. Yang menyelamatkan sebuah negeri adalah cara mengelola konflik yang tepat, meskipun susah payah, untuk suatu masa, suatu keadaan. Kearifan sejarah mengajari kita bersikap terbuka terhadap "d.l.l."; artinya terbuka untuk hal yang belum diketahui, tak berpegang pada dogma dan ide yang aus.

Sebab kemerdekaan bukan jembatan emas, melainkan lorong terbuka ke segala yang baru, yang tak selamanya aman- yang bagaimanapun lebih baik ketimbang pintu tertutup. Asal ada tekad dan cemas, kita tak ingin negeri yang tercekik dan hancur lebur. GOENAWAN MOHAMAD

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


5 Fakta Dugaan Sabotase Kereta Cepat Sebelum Pembukaan Olimpiade Paris 2024

2 menit lalu

Tentara berjaga di depan Menara Eiffel menjelang Olimpiade Paris 2024, Prancis, 21 Juli 2024.REUTERS/Stefan Wermuth
5 Fakta Dugaan Sabotase Kereta Cepat Sebelum Pembukaan Olimpiade Paris 2024

Sabotase kereta cepat disebut-sebut sebagai upaya terencana beberapa jam menjelang upacara pembukaan Olimpiade Paris 2024.


Berita MotoGP: Joan Mir Perpanjang Kontrak di Repsol Honda hingga 2026

6 menit lalu

Joan Mir pembalap MotoGP di Repsol Honda. (Foto: Repsol Honda)
Berita MotoGP: Joan Mir Perpanjang Kontrak di Repsol Honda hingga 2026

Pembalap MotoGP Joan Mir memperpanjang kontraknya dengan tim pabrikan Honda Racing Corporation (HRC/Repsol Honda) selama dua musim.


Indikator Keberhasilan Pilkada 2024: Partisipasi Generasi Muda sampai Semua Pihak Patuhi Aturan

8 menit lalu

Ilustrasi TPS Pilkada. Dok TEMPO
Indikator Keberhasilan Pilkada 2024: Partisipasi Generasi Muda sampai Semua Pihak Patuhi Aturan

Beberapa indikator Pilkada 2024 berhasil, antara lain partisipasi generasi muda sebagai pemilih terbesar dan mematuhi aturan oleh semua pihak terlibat


Komika Arie Kriting Besut Film Kaka Boss, Berikut Film Lain yang Dibintanginya Termasuk Agak Laen

12 menit lalu

Stand Up Comedian Arie Kriting dengan gaya khas orang Timur tampil menghibur penonton di ajang Tujuh Hari Untuk Kemenangan Rakyat di Teater Salihara, Jakarta,  19 Juli 2014. TEMPO/Nurdiansah
Komika Arie Kriting Besut Film Kaka Boss, Berikut Film Lain yang Dibintanginya Termasuk Agak Laen

Arie Kriting menjadi sutradara film Kaka Boss. Sebelumnya, ia telah bermain dalam beberapa film termasuk Agak Laen.


Olivia Rodrigo Tegaskan Dukungan untuk Kamala Harris atas Isu Hak Reproduksi

13 menit lalu

Olivia Rodrigo/Foto: Instagram/Olivia Rodrigo
Olivia Rodrigo Tegaskan Dukungan untuk Kamala Harris atas Isu Hak Reproduksi

Olivia Rodrigo menunjukkan dukungannya kepada Kamala Harris dengan mengunggah ulang video yang mengkritik kebijakan Donald Trump tentang aborsi.


Cegah Wabah, WHO Kirim Lebih dari 1 Juta Vaksin Polio ke Gaza

13 menit lalu

Anak-anak Palestina menangis saat berebut makanan dimasak oleh dapur amal, di tengah kelangkaan makanan, saat konflik Israel-Hamas berlanjut, di Jalur Gaza utara, 18 Juli 2024. REUTERS/Mahmoud Issa
Cegah Wabah, WHO Kirim Lebih dari 1 Juta Vaksin Polio ke Gaza

WHO mengirimkan lebih dari satu juta vaksin polio ke Gaza untuk mencegah anak-anak terkena wabah


PSN Rempang Eco City Tetap Lanjut, Walhi: Suara Rakyat Diabaikan

13 menit lalu

Warga Rempang bentangkan spanduk di atas kapal di laut Pulau Rempang, Kota Batam, Senin, 20 Mei 2024. TEMPO/Yogi Eka Sahputra
PSN Rempang Eco City Tetap Lanjut, Walhi: Suara Rakyat Diabaikan

Pemerintah memutuskan untuk tetap melanjutkan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City. Walhi sebut pemerintah abaikan suara rakyat.


Segini Harta Kekayaan Hakim MA yang Perintahkan Rumah Istri Rafael Alun Dikembalikan

13 menit lalu

Terdakwa mantan pejabat eselon III kabag umum Kanwil Ditjen Pajak Jakarta Selatan II, Rafael Alun Trisambodo (tengah) berbincang dengan kuasa hukumnya saat mengikuti sidang pembacaan surat amar putusan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin, 8 Januari 2024. Rafael menyatakan masih pikir-pikir soal kemungkinan mengajukan banding atas vonis 14 Tahun penjara dan denda Rp 500 juta yang dijatuhkan  Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kepadanya. TEMPO/Imam Sukamto
Segini Harta Kekayaan Hakim MA yang Perintahkan Rumah Istri Rafael Alun Dikembalikan

Lewat putusan kasasi, hakim MA (Mahkamah Agung) memerintahkan harta istri Rafael Alun Trisambodo dikembalikan. Segini kekayaan hakim tersebut.


Sepak Terjang Hendry Lie, Tersangka Korupsi Timah yang Keberadaannya Dimonitor Kejagung

13 menit lalu

Hendry Lie. (Dok. PT. Tinindo Inter Nusa (TIN))
Sepak Terjang Hendry Lie, Tersangka Korupsi Timah yang Keberadaannya Dimonitor Kejagung

Hendry Lie, tersangka korupsi timah yang juga pendiri perusahaan maskapai PT Sriwijaya Air.


Login WhatsApp Web Kini Bisa Tanpa Nomor Telepon, Muncul Risiko Penipuan Akun

13 menit lalu

WhatsApp Web. Kredit: Tech Advisor
Login WhatsApp Web Kini Bisa Tanpa Nomor Telepon, Muncul Risiko Penipuan Akun

Privasi pengguna kian aman saat memakai WhatsApp Web yang didaftarkan tanpa nomor telepon. Namun, pengguna jadi harus mewaspadai akun palsu.