Keanekaragaman Hayati sebagai Benteng Pertahanan
Keanekaragaman hayati memiliki potensi meredam dampak perubahan iklim. Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore sukses mengkampanyekan dampak perubahan iklim melalui film "An Inconvenient Truth" pada 2006, yang menceritakan pembangunan di era awal pada 1610 hingga 1960. Era Anthropocene itu ditandai migrasi orang-orang Eropa ke Amerika mengubah bentang alam hutan seluas 65 juta ha menjadi lahan pertanian. Sesudahnya penemuan industri bahan sintesis beracun, plastik, tes nuklir, dan pertambahan penduduk yang cepat telah berdampak signifikan terhadap perubahan fungsi ekosistem dan iklim bumi.
Pakar Konservasi Biodiversitas, Prof. Jatna Supriatna, mengatakan kawasan konservasi adalah benteng pertahanan terakhir terhadap perubahanan iklim yang kian terasa dampaknya. Sumber daya hayati memainkan peran penting dalam menyeimbangkan lingkungan, stabilitas untuk berbagai proses alam, penyedia pakan, sandang dan sumber pendapatan termasuk jasa ekosistem seperti hidrologi, siklus hara, regulasi iklim, proses penyerbukan.
Hutan yang dijaga, mampu menghasilkan tandon karbon selain sumber plasma nutfah. Studi memproyeksi potensi mereduksi emisi karbon dari lahan seluas 2.873.166 hektare di Provinsi Aceh mencapai 11,2 juta ton CO2e/tahun. Sementara untuk total luas lahan 11.692.793 hektare di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Utara berpotensi mereduksi emisi sebesar 85 juta ton CO2e/tahun (Hatfield, 2020).
Keragaman pangan nusantara adalah modal utama terhindar dari bencana kelaparan. Mengutip data Badan Pangan Nasional pada 2022, terdapat beragam ekosistem dan sumber pangan lokal yang tumbuh adaptif, yakni 77 jenis sumber karbohidrat, 389 jenis buah-buahan, 75 jenis sumber protein, 228 jenis sayuran, 110 jenis rempah dan bumbu, 26 jenis kacang-kacang, dan 40 jenis bahan minuman. Sumber daya ikan laut Indonesia meliputi 37 persen dari spesies ikan dunia, dengan potensi sebesar 12,54 juta ton pertahun tersebar di perairan dan zona ekonomi ekslusif Indonesia (KKP, 2020).
Dari dunia tumbuhan tingkat rendah, penelitian bioteknologi kita telah mengungkap alga yang banyak ditemui di daerah perairan berpotensi menjadi penyelamat kehidupan sebagai bahan pangan, bahan bakar nabati (BBN), agen hayati penyaring racun limbah pertanian dan industri, serta mampu menekan laju emisi.
Alga hijau biru (Cyanobacteria) diyakini sepuluh kali lebih efisien berfotosintesis dibanding tanaman daratan sehingga mampu menekan tingkat emisi karbon. Beberapa mikro alga menghasilkan enzim pengurai limbah plastik, bahkan alga dapat dibuat biopolymer sebagai bahan pengganti plastik.
Mikro alga Chlorella memiliki kandungan minyak mentah maksimal 32 persen, Dunaliella (23 persen), Isochrysis galbana (35 persen), dan Nannochloropsis oculata (68 persen). Jenis alga ini berpotensi dikembangkan sebagai bahan bakar nabati tanpa berkompetisi dengan sumber bahan bakar nabati lainnya, seperti kelapa sawit.
Indonesia dengan garis pantai lebih dari 80 ribu kilometer serta keragaman ekosistem perairannya, seharusnya menempatkan bioprospecting alga sebagai andalan pembangunan green ekonomi Indonesia di masa depan.
Selanjutnya: Menguatkan Komitmen Melindungi Bumi