KEDATANGAN Presiden Joko Widodo ke Lampung untuk meninjau jalan rusak mengapungkan pertanyaan: dia datang sebagai presiden atau pembuat konten? Jokowi datang ke Lampung setelah jalan rusak di Lampung viral di media sosial. Lalu kita disuguhi tontonan saat mobil sedan kepresidenan berzig-zag menggilas jalanan bopeng tersebut. Di tengah perjalanan, Jokowi sempat pula membuat vlog bersama Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dari dalam mobil yang mereka tumpangi.
Sebagai kepala pemerintahan, Jokowi mestinya bisa melakukan banyak hal untuk membereskan masalah infrastruktur di daerah tanpa menunggu kehebohan di dunia maya. Presiden, misalnya, dapat menginstruksikan Menteri Dalam Negeri untuk menegur Gubernur Lampung yang mengabaikan kerusakan jalan di wilayahnya. Jokowi juga bisa memanggil Menteri Keuangan untuk mengecek penggunaan anggaran daerah dalam perbaikan jalan atau menginstruksikan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk memperbaiki jalan yang dikelola pemerintah pusat. Jokowi pun bisa meminta laporan berkala dari kepala daerah mengenai hal tersebut. Tak perlulah Presiden membuat “pertunjukan” untuk sekadar mengerek citra.
Lagipula, solusi kebijakan yang dipilih Jokowi dengan mengambil alih tanggung jawab pemerintah Lampung menyisakan persoalan. Aspal jalan di sana memang bisa segera menjadi mulus. Tapi, cara Jokowi membereskan persoalan tampak sporadis dan diskriminatif sebab masalah infrastruktur tak hanya ada di Lampung. Dengan cara seperti ini, sulit bagi pemerintah pusat membenahi semua kerusakan infrastruktur seperti halnya di Lampung.
Tak menggunakan pendekatan sistemik, Jokowi tak membereskan masalah mendasar di daerah. Di antaranya, akuntabilitas penggunaan anggaran dan belanja daerah serta mekanisme pengaduan dan penanganan infrastruktur publik yang buruk. Cara Jokowi membereskan masalah sesungguhnya menunjukkan ada yang keliru dalam tata kelola pemerintahan: sistem perencanaan hingga pengawasan yang tak berjalan.
Bahwa Gubernur Lampung Arinal Djunaidi dan para bupati serta wali kota punya andil dalam kerusakan jalanan di wilayahnya, itu fakta yang tak bisa disembunyikan. Mereka, misalnya, selama ini membiarkan truk melintas di jalan yang tak sesuai dengan kelasnya dan mengabaikan kualitas proyek pengaspalan. Para kepala daerah tak bisa lepas tangan meski proyek perbaikan jalan sekarang diambil pusat.
Agar blusukan Jokowi ke Lampung tak disangka sekadar pencitraan atau membuat konten untuk diunggah di media sosial, tugas pemerintah kini adalah membuat sistem agar masyarakat bisa melaporkan pelayanan dan infrastruktur publik yang buruk serta memastikan masalah itu ditangani secara cepat. Publik harus bisa mengakses kanal pengaduan itu dengan mudah.
Jokowi telah meminta pengguna media sosial melaporkan jalanan rusak di berbagai daerah lewat kolom komentar di media sosialnya. Sekilas itu tampak baik, tapi sebenarnya serampangan karena penanganan komplain lewat media sosial bisa tak akuntabel. Tanpa membenahi pelayanan publik dan membuat sistem pengaduan yang andal, Presiden Jokowi sekadar mempraktikkan gimik untuk memoles citra.