Menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu perlu urut-urutan yang benar: rekonsiliasi, pengungkapan kebenaran, pengadilan, baru bantuan-bantuan. Tapi Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 pada 15 Maret lalu bertolak dari arah sebaliknya.
Lewat Inpres itu Presiden Joko Widodo memerintahkan 19 kementerian menindaklanjuti rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM berat masa lalu (TPPHAM) pada Agustus 2022. Namun, perintah itu melompat ke langkah terakhir, yakni pemberian bantuan dan layanan administratif kepada para korban dan keluarganya. Rekomendasi TPPHAM soal pelurusan sejarah di balik pelanggaran HAM itu malah tak tercantum dalam Inpres tersebut.
Pelurusan sejarah adalah bagian penting dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Tanpa pengakuan negara terhadap sejarah kelam itu, pelanggaran HAM menjadi tak selesai. Jika Jokowi melompat ke tahap terakhir, penyelesaian pelanggaran HAM bisa dikatakan hanya gula-gula belaka.
Meski Jokowi juga menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, tim yang bekerja hingga 31 Desember 2023 itu hanya akan jadi pengawas administrasi. Sebab, pokok dalam penyelesaian HAM tak menjadi kewajiban kementerian yang melaksanakannya.
Dua instrumen kebijakan itu seperti mengobati luka yang keliru. Pengobatan luka yang keliru itu selamanya tak akan menghapus sejarah kelam kejahatan aktor negara kepada rakyatnya sendiri. Jokowi mesti melihat Jerman yang berhasil menempatkan genosida Nazi terhadap orang Yahudi di masa kekuasaan Hitler. Dengan mengakui kejahatan itu, generasi Jerman tahu apa yang terjadi di masa itu lalu mencegah kejahatan serupa terulang melalui sistem politik dan demokrasi.
Tanpa membuka kebenaran fakta pelanggaran HAM di masa lalu, generasi Indonesia kelak tak akan tahu sejarah negeri ini yang sebenarnya. Karena itu, lompatan cara menyelesaikan pelanggaran HAM ala Jokowi ini malah menutupi bahkan memutihkan sejarah Indonesia tanpa meluruskannya terlebih dahulu. Maka alih-alih selesai, sejarah buruk itu akan semakin kelam.
Jika benar Jokowi ingin serius mengusut pelanggaran HAM dan mencegah kejahatan itu terulang—meski kita ragu dengan niat itu—negara wajib menyelidiki semua individu yang bertanggung jawab atas 12 kasus pelanggaran HAM yang sudah diakui Presiden tersebut. Hanya pengadilan yang terbuka dan transparan yang akan memberikan keadilan bagi para korban dan keluarganya. Soal layanan dan bantuan sosial, itu sudah menjadi kewajiban negara menyediakannya—ada atau tanpa pengakuan kepala negara.
Sebab, pemberian bantuan tanpa pelurusan sejarah dan pengadilan tak akan menghapus diskriminasi dan stigmatisasi para korban. Selama ini, sejarah Indonesia mencatat para korban itu sebagai orang atau sekelompok orang yang melawan kebijakan sehingga aparatur seolah sah mengintimidasi dan mempersekusi mereka atas nama tugas membela bangsa dan negara.
Mengambil jalur nonyudisial sebagai mekanisme menyelesaikan pelanggaran HAM berat juga akan mengukuhkan impunitas kepada para pelakunya. Maka, dengan begitu, luka para korban dan keluarganya akan semakin melebar dan meluas. Walhasil, pengakuan Presiden Joko Widodo terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat tanpa tahap penyelesaian yang benar dan akuntabel hanya berhenti sebatas retorika politik belaka.