Editorial Tempo.co
--
SUDAH terlambat, kibang-kibut pula peralihannya. Indonesia semestinya belajar dari negara-negara yang lebih dulu mengalihkan siaran televisi analog ke digital (analog switch off/ASO). Migrasi siaran tak semudah membalik telapak tangan sehingga butuh persiapan yang matang dalam banyak aspek agar peralihan berjalan mulus.
Tanda-tanda kekacauan bisa diperkirakan sejak awal. Tahap pertama dan kedua pelaksanaan ASO terus dimundurkan hingga diputuskan serentak pada 2 November lalu. Pemerintah awalnya menargetkan tahap pertama menyuntik mati siaran TV analog diberlakukan di Jakarta dan daerah penyangganya seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, pada Agustus 2022. Namun kebijakan ini urung dilaksanakan karena set top box (STB), alat penangkap siaran digital, untuk masyarakat miskin baru tersalurkan 63,4 persen.
Tahap kedua pada Oktober juga ditunda setelah Kementerian Komunikasi dan Informatika menerima keberatan dari Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI). Sejak dicanangkan dua tahun lalu, sosialisasi hingga pembagian STB mestinya digencarkan sejak awal sehingga berbagai problem sudah reda menjelang penghentian siaran analog. Hingga siaran analog resmi disetop pekan lalu, masih banyak masyarakat yang bingung mengapa televisinya tak bisa lagi menangkap siaran.
Migrasi dari siaran analog ke digital sebenarnya kebijakan bagus. Satu spektrum frekuensi yang dulu hanya dikuasai satu lembaga penyiaran swasta kini bisa digunakan 12 saluran televisi digital. Publik pun akan mempunyai banyak pilihan tontonan. Bertambahnya jumlah lembaga penyiaran akan mendorong kompetisi dalam menghasilkan konten berkualitas. Selain itu, sisa frekuensi bisa digunakan untuk pengembangan internet cepat.
Selama ini, siaran TV analog didominasi oleh para konglomerat. Selama bertahun-tahun, frekuensi spektrum 700 megahertz (MHz) dikuasai 14 stasiun televisi nasional. Frekuensi publik tersebut kerap disalahgunakan oleh sejumlah pemilik stasiun TV swasta untuk kampanye politik dan mengeruk duit dari iklan. Mereka pun mengakali kewajiban TV berjaringan dengan membuat anak perusahaan di daerah, padahal kontennya berasal dari kantor pusat di Jakarta.
Stasiun TV swasta yang demikian dibiarkan mengakali undang-undang dan tak dijatuhi sanksi. Tak pernah juga ada hukuman yang tegas terhadap lembaga penyiaran yang terang-terangan menyahgunakan frekuensi publik. Kekusutan penerapan ASO yang terjadi sekarang juga buah dari ketidaktegasan pemerintah tersebut.
Jika pemerintah tegas dan punya tekad kuat, sejak meratifikasi perjanjian migrasi analog ke digital yang disepakati dalam Konferensi Radio Komunikasi Regional yang digelar Organisasi Telekomunikasi Sedunia (ITU) di Jenewa, Swiss, pada 2006, harusnya ASO dipayungi undang-undang. ASO dulu jalan di tempat karena hanya diatur Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika. Pengusaha stasiun TV menggugat aturan tersebut dan meminta pemerintah menggunakan dasar undang-undang. Baru dua tahun terakhir ASO dikebut dengan tatakan Pasal 60A Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Cipta Kerja.
Kini, setelah siaran TV analog resmi dihentikan, Hary Tanoesoedibjo, salah satu pemilik jaringan televisi swasta, berencana menggugat secara perdata dengan mengatasnamakan masyarakat miskin yang diklaim mengalami kerugian atas peralihan dari analog ke digital. Kita patut mengecam Hary Tanoe jika maksud dia sebenarnya menolak ASO demi melindungi kerajaan bisnisnya belaka. Pelaksanaan ASO memang masih compang-camping, namun perlu terus dikawal agar faedahnya bisa terwujud.
Baca juga: Sederet Pro-Kontra Migrasi TV Digital antara Mahfud MD dan Hary Tanoe