Editorial Tempo.co
---
Ibu Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang kami hormati.
Izinkan kami menulis surat ini sebagai ungkapan rasa prihatin atas perkembangan politik di Tanah Air. Rencana pemerintah untuk menunda pemilihan umum atau memperpanjang masa jabatan presiden hingga tiga periode tampaknya akan terus bergulir.
Sejumlah pertemuan telah digelar antarpartai politik untuk membahasnya. Secara sporadis spanduk telah dibentangkan dan aksi kebulatan tekad, istilah yang mengingatkan kita pada otoritarianisme Soeharto, digelar untuk mendukung perpanjangan itu.
Pemerintah lewat Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menggalang partai politik agar bersedia mengamandemen konstitusi yang membatasi masa jabatan presiden. Tiga ketua partai menyatakan setuju. Dua partai pro pemerintah lainnya menolak.
Kami bersyukur, PDIP lewat pernyataan sekretaris jenderal partai menentangnya. Memiliki kursi terbanyak di DPR, PDIP memang bukan penentu tunggal jadi tidaknya amandemen konstitusi atau undang-undang dasar dilakukan. Tapi sebagai partai terbesar yang berada dalam barisan pendukung Jokowi, penolakan PDIP akan memperkuat komitmen partai lain untuk secara bersama-sama menyelamatkan demokrasi.
Ibu Megawati yang kami muliakan.
Kita tentu belum lupa: betapa buruk Indonesia di masa Soeharto. Kekuasaan pemerintahan yang tidak dibatasi waktu membuat korupsi merajalela, aspirasi politik diberangus dan rakyat hanya menjadi obyek yang dipaksa berkata setuju pada apapun yang dikatakan pemerintah. Regenerasi kepemimpinan tidak terjadi karena otoritarianisme menebas setiap kecambah pemimpin yang muncul.
Di Sukolilo, Surabaya, 1993, Ibu pernah mengalaminya. Ketika itu Orde Baru mengintervensi kongres PDI agar Ibu tidak terpilih sebagai ketua partai. Konflik berlanjut hingga peristiwa 27 Juli 1996 meletus. Korban jatuh. Dengan tidak mudah, PDIP lahir sebagai partai perlawanan.
Penundaan pemilu akan mengembalikan otoritarianisme itu. Calon-calon pemimpin, termasuk yang disiapkan PDIP, harus menunggu entah sampai kapan, agar dapat membuktikan dirinya mampu memimpin Indonesia. Penundaan Pemilu adalah pintu masuk bagi kekuasaan tanpa batas. Sekali disetujui, penundaan itu akan terus berulang.
Kita tidak bisa menerka apakah presiden setelah Jokowi akan lebih baik atau lebih buruk dari presiden yang digantikannya. Tapi asumsi bahwa hanya inkumben yang dapat menyelamatkan Indonesia — seperti disampaikan tiga pimpinan partai politik, menteri atau pengamat yang sama-sama kita ragukan integritasnya — merupakan sikap gede rasa yang tak patut. Dalam demokrasi setiap calon pemimpin secara berkala diberi kesempatan untuk membuktikan dirinya dalam proses politik bernama pemilu.
Sirkulasi kekuasaan merupakan darah demokrasi. Ada yang berkuasa, ada yang menjadi oposisi. Proses checks and balances, antara keduanya memastikan tak ada pihak yang sepenuhnya benar dan sepenuhnya salah. Saat kekuasaan yang satu berakhir, pihak lain memiliki kesempatan untuk memerintah. Sepuluh tahun Indonesia dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu berkeras agar PDIP tidak masuk pemerintahan agar proses kontrol dan keseimbangan itu dapat terus dijaga.
Ibu Megawati yang budiman,
PDIP harus menjadi ujung tombak perlawanan terhadap gagasan penundaan pemilu. PDIP tidak akan kehilangan apapun dengan mempertahankan sikap konstitusional itu. Sebaliknya partai akan kehilangan banyak hal jika menyetujui ide perpanjangan masa jabatan presiden.
Salam Hormat.