Beralih ke Bagian II, esai religiositas menghunjam dari GM tentang keimanan adalah “Nurcholish Madjid: Pintu-pintu menuju Tuhan”. Dia menulis, “Setiap kali saya mendengarkan Nurcholish Madjid, setiap kali saya merasa ada yang terselamatkan dalam iman saya: Tuhan yang Esa itu adalah Tuhan yang inklusif. Ke dalam kemahapemurahan itu saya tidak ditampik”. Bagi GM, ini “mengetuk hati” dan “menggugah”.
Kedalaman analisis atau argumen-argumen GM beserta kutipan puisi-puisi yang pas dari Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, dan, di sini, terutama dari puisi percakapan Iqbal dengan Tuhannya dalam Payam-i-Mashriq: “Kau ciptakan malam—aku nyalakan cahaya. Kau ciptakan lempung—aku bentuk piala. Kau buat belantara—aku olah taman bunga”, semua itu menciptakan narasi yang mempesona. Begitu pula perbandingan Iqbal antara “sufi” dan “nabi” lewat peristiwa mi’raj dan bagaimana Iqbal menekankan “ego kreatif” manusia sementara Nurcholish lebih memilih berendah hati dengan “kedaifan manusia” lantaran kontras pengalaman kesejarahan di antara mereka berdua.
Di atas semuanya, GM amat menghargai pandangan Nurcholish tentang arti “kemenangan Islam” sebagai “kemenangan sebuah ide, sebuah cita-cita” terserah siapa saja pelaksananya. Dan pada tulisan terakhir dalam Pintu-pintu Menuju Tuhan, GM mencatat mungkin petuah emas Nurcholish: “Perfeksionisme dan demokrasi adalah dua hal yang tidak pernah bertemu”. Mengikuti GM, harus ditambahkan bahwa itu bukanlah pertanda cacat demokrasi, melainkan pewarta “ketidaksempurnaan nasib manusia”. Di penghujung abad ke-20, GM menutup esai ini dengan menyatakan optimismenya pada kalangan pemikir berlatar belakang Islam. “Kita besyukur, bahwa yang terbit bukan cuma rasa getir dan marah. Yang lahir mengagumkan, terutama adalah keberanian menjelajah dan kearifan berdialog. Kita menikmati sejumlah renungan Indonesia yang baru”.
Belum pernah di sepanjang sejarah bangsa kita wawasan keislaman Nurcholish yang mulai dicanangkannya setengah abad lampau lebih diperlukan daripada sejak sekitar sewindu terakhir. Ini jauh melampaui kebutuhan atasnya ketika Islam politik atau Islam modernis dipersekusi oleh negara sedari Demokrasi Terpimpin hingga katakanlah sepuluh tahun pertama Orde Baru. Sejak katakanlah dua dekade terakhir, fundamentalisme Islam di pelbagai belahan bumi, telah berbaur kencang dan mabuk dengan kerja desktruktif, bahkan diabolik, media sosial. Ini juga melanda Indonesia. Liar dan dalamnya kerja celaka post-truth dan infodemi menggerogoti dan melecehkan paham keislaman yang benar dan lapang sebagaimana yang diteladankan oleh Rasulullah, para sahabatnya, dan segenap jiwa Muslim terpuji di sepanjang peradaban.
Sebagian umat Islam di Tanah Air juga tergulung oleh wabah perburuan pelampiasan instan yang berpantang “Iqra!”, pejal hawa nafsu, dan terbutakan oleh kehendak untuk memonopoli kebenaran. Pangkalnya adalah magnifikasi politisasi agama, terutama sejak 2014. Dari saat itu alangkah banyak vulgarisasi ajaran-ajaran Islam, bahkan penyalah-gunaan serta pengkhianatan atasnya demi tujuan-tujuan politik sempit. Dan alangkah gampang laku pengkafiran terhadap sesama Muslim. Tak lagi dipedulikan para ulama berotoritas dan berintegritas di tengah-tengah bangsa kita. Di atas semuanya, mereka mencampakkan prinsip ahsanu amala –panggilan beramal terindah dalam Islam, lebih memilih untuk kembali berjibun terlena pada zaman kegelapan baru yang penuh kebodohan dan kezaliman. Maka kita lebih-lebih lagi memerlukan siraman keislaman sarat cahaya dan kesejukan sebagaimana yang telah dicanangkan dan diteladankan oleh Nurcholish Madjid.
Sebagai penutup, penting dicatat adanya persambungan perjuangan keislaman antara Bung Karno dan Cak Nur. Kita tahu betapa gundah Bung Karno menyaksikan parahnya kemesuman penjumudan agama di kalangan umat Islam Indonesia lantaran merajalelanya penyalah-gunaan fikih pada masanya. Terhadap kenyataan itulah Bung Karno memberikan satu prognosis dalam layangan terakhir Surat-Surat Islam dari Endeh, per 17 Oktober 1936:
Biar! Zaman nanti akan membuktikan, bahwa kaum muda tulus dan ichlas mengabdi kepada kebenaran, tulus dan ichlas mengabdi kepada Tuhan. Zaman nanti akan membawa persaksian, bahwa kita punja utjapan-utjapan dan tindakan-tindakan bukan buat “mengadakan agama baru”, bukan buat “merobah hukum-hukumnja Allah dan Rasul”, tapi djustru buat mengembalikan agama jang asli dan mengembalikan hukum-hukumnja Allah dan Rasul.
Pada ujung kedua kalimat ini tegak Nurcholish Madjid.
* * *