Judul buku: Pembentuk Sejarah: Pilihan Tulisan Goenawan Mohamad
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Jakarta bekerja sama dengan Freedom Institute dan Komunitas Salihara, 2021
Tebal: 373 halaman
"Sekian dasawarsa setelah Bung Karno, kita hidup dalam sebuah zaman yang makin menyadari ketidaksempurnaan nasib." Itu adalah kalimat esai pertama dari buku Pembentuk Sejarah: Pilihan Tulisan Goenawan Mohamad. Bagi pembaca di Tanah Air yang sudah kerap mengikuti tulisan-tulisan GM, itu bisa langsung mengimbau untuk menyimaknya lebih jauh.
Baca Juga:
Buku ini terdiri dari tiga bagian. Delapan dari ke-23 esai di dalamnya, sudah pernah dimuat dalam kumpulan tulisan bagus lainnya dari GM, Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001), dengan kata pengantar bersinar dari Hamid Basyaib. Bagian I perihal "Tokoh Bangsa" terdiri dari sembilan esai, membicarakan delapan tokoh. Bagian II "Cendekiawan" dengan lima esai, mengangkat lima cendekiawan. Dan Bagian III "Sastrawan" dengan sembilan esai, enam di antaranya panjang, membahas delapan sastrawan.
Prolog dan Epilog masing-masing ditulis singkat, lugas, dan jitu oleh Akhmad Sahal dan Rizal Mallarangeng. Agar tak mengurangi keasyikan menyimak, pembaca perlu diwanti akan sejumlah typo, satu di antaranya mengubah arti kalimat: kata "mengurangi" di halaman 29, baris terakhir alinea kedua, mestinya "mengulangi".
Pada sebelas esai singkat dalam Pembentuk Sejarah, membicarakan antara lain Tan Malaka, Romo Mangunwijaya, Arief Budiman, dan Rendra, Goenawan Mohamad menyuguhi kita rangkaian narasi empatik yang tertuju ke tiap tokoh pada titik-titik kemanusiaan bermakna dalam kehidupannya masing-masing. Pathos hampir selalu hadir.
Menurut saya, bagi khalayak, magnet buku terletak pada esai-esai singkat ini. Bisa dikatakan bahwa tiap esai tersebut menyentuh kita sebagai puisi. Tetapi rangkaian tulisan panjang Goenawan Mohamad tak kurang memukau. Di situ, selain konsistensi kehadiran daya diksi dan loncatan-loncatan alusinya sebagai penulis andal, panjang tulisan lebih memungkinkan GM menyampaikan narasi atau analisis dengan pengerahan rasa-rasio penuh, erudisi, referensi cerdas multi-bahasa, dan, terutama di Bagian III, tebaran bait-bait puisi indah.
Sayang, dalam keterbatasan ruang, kita mustahil mengulas buku sebernas dan setebal 373 halaman ini dengan penghormatan merata kepada segenap tokoh sesuai dengan penghormatan GM kepada mereka semua. Apalagi jika tetap diperlukan kritisisme atau pembacaan alternatif (betapa terbatas pun prospeknya vis-a-vis karya-karya seorang GM), di mana sejumput renarasi perlu, betapa pucat pun renarasi itu ketimbang aslinya. Sebab hanya dengan kritisisme atau pembacaan alternatif, suatu ulasan bisa berharkat ke tiga arah: ke penulis, ke pengulas, dan ke pembaca.
Atas constraint di atas, saya terpaksa lebih fokus pada bagian "Tokoh Bangsa", itu pun tidak semuanya. Pada bagian ini saya silakan pembaca menghirup sendiri pathos pada sosok Tan Malaka. Juga empati ekstra GM pada sosok Bung Hatta. Mengingatkan kita ke judul novel Gabriel Garcia Marquez, One Hundred Years of Solitude, Goenawan Mohamad menukilkan kalimat berikut, "Bung Hatta, kau bukanlah 100 tahun kesendirian. Percakapan antara kita, sebuah dialog dengan masa silam, adalah percakapan yang tak terhingga".
Pada Bagian II, saya ajak pembaca menyimak sendiri esai "Memilih Alternatif Kemajuan Indonesia" dari perspektif perkembangan pemikiran Soedjatmoko dan esai orisinal perihal praktek wacana orisinal “Heteropia untuk Mister Rigen”. Juga kedua esai singkat sarat pathos, "Jip (Mengenang Romo Mangunwijaya)" dan "Yang Akrab dengan Yang Murni: Mengenang Arief Budiman (1941-2020)".
Pada Bagian III, saya mengimbau pembaca menghirup sendiri keutuhan tiap buah tarikan arsenal kepenulisan Goenawan Mohamad perihal keenam sosok sastrawan terkemuka Indonesia. Di sini, saya terutama menyukai tiga tulisan, yaitu "STA: Puisi dan Antipuisi", "Lirik, Laut, Lupa: Tentang Asrul Sani", dan "Dimulai dengan Subyek: Sebuah Catatan tentang Pramoedya Ananta Toer". Di antara para sastrawan senior Indonesia, tampaknya Pramlah yang terbanyak mengundang bincang GM. Dan mungkin baru pada untaian kata-kata berikut bincang itu selesai: "Itu agaknya yang menyebabkan kita berbahagia mendapatkan seorang Pramoedya Ananta Toer—seperti kita menemukan satu sumber energi yang autentik". Tetapi pada keenam-enam tulisan panjang itu sama-sama terdedahkan keelokan narasi, kearifan analisis, serta kekukuhan otoritas Sang Penyair ++. Di sinilah berlaku bulat pembuktian forte seorang Goenawan Mohamad.
* * *