INI kabar baik pertama sejak wabah virus corona merajalela pada Maret lalu: penelitian vaksin menemui titik terang. Pemerintah bahkan mengklaim obat penangkal Covid-19 itu dapat diproduksi massal pada awal tahun depan. Apresiasi patut dilayangkan kepada Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keuangan, serta Kementerian Badan Usaha Milik Negara dalam membangun jaringan, sehingga Indonesia ikut dalam rangkaian uji klinis dan dapat memproduksi penghalau virus mematikan tersebut.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, dari 24 calon vaksin yang menjalani uji klinis, terdapat empat kandidat yang telah masuk fase 3. Pada jenjang ini, pengujian melibatkan ribuan orang. Satu dari empat calon vaksin tersebut dikembangkan Sinovac Biotech, Ltd. Lewat jejaring tiga kementerian tersebut, perusahaan asal Cina itu mengirim 2.400 dosis vaksin pada Ahad lalu untuk diujicobakan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran ke 1.600 relawan. Bila lolos dari uji klinis fase 3, vaksin dapat dipasarkan. Indonesia bakal mendapat hak ikut memproduksi lewat PT Bio Farma (Persero) dengan kapasitas seratus juta dosis per tahun.
Meski berkejaran dengan jumlah penderita Covid-19 yang meningkat, kita harus bersabar menunggu hasil penelitian besar ini. Presiden Joko Widodo terkesan grusa-grusu saat menargetkan vaksin tersedia dalam tiga bulan mendatang. Sikap tim peneliti yang tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian layak didukung. Perlu diingat, penelitian Sinovac juga dilakukan di berbagai negara. Misalnya, di Brasil dengan 9.000-an sampel. Untuk lolos fase 3, uji klinis itu perlu mendulang hasil positif di berbagai negara.
Dengan jumlah penduduk sekitar 270 juta jiwa, Indonesia tidak dapat mengandalkan satu sumber vaksin. Kapasitas produksi seratus juta dosis per tahun itu hanya bisa terwujud jika bahan baku dari Cina mencukupi. Sementara itu, Sinovac juga memiliki rekanan di negara lain, termasuk Brasil, negara berpenduduk 209 juta orang. Pasokan yang sudah dijanjikan perusahaan pemilik lisensi vaksin flu burung H1N1 itu adalah 40 juta dosis pada tahap awal. Dengan ketentuan dua kali penyuntikan untuk membentuk kekebalan, artinya hanya ada 20 juta orang Indonesia yang akan terlindungi. Di luar Cina, ada kolaborasi antara peneliti Universitas Oxford dan perusahaan farmasi AstraZeneca asal Inggris yang juga berada di fase 3.
Jika semua berjalan baik dan vaksin diproduksi massal, berikutnya adalah mempersiapkan distribusi. Bidang ini selalu menjadi masalah besar dalam setiap penanganan wabah. Pada saat semua orang berebut ingin terlindungi, sulit menentukan siapa yang berhak mendapatkan vaksin di masa awal lewat program imunisasi.
Distribusi hanya bisa berjalan dengan data yang kuat. Data diperoleh dari tes massal. Masalahnya, pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) di Indonesia sangat rendah. WHO menetapkan standar minimum pemeriksaan seribu orang per sejuta penduduk per pekan. Relatif hanya DKI Jakarta yang memenuhi ketentuan itu dengan rasio 3.194 orang per sejuta penduduk. Per awal bulan ini, DKI memeriksa 26.527 orang per sejuta penduduk. Di bawah itu, angkanya langsung jomplang menjadi 9.124 orang per sejuta penduduk di Sumatera Barat dan 8.870 orang per sejuta penduduk di Bali. Padahal, tanpa data yang kuat, penyaluran vaksin bisa salah alamat.