Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Penolakan Pelibatan TNI dalam Penanganan Terorisme

Oleh

image-gnews
Iklan

Ikhsan Yosarie
Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute

Kontroversi pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam penanganan terorisme cenderung disimplifikasi ke dalam narasi subyektif berupa suka-tidak suka, benci-tidak benci, untung-rugi, pro-kontra terorisme, dan upaya penghalang-halangan. Bahkan, dalam narasi lebih jauh, wacana tersebut malah menyasar persoalan komunisme, perlindungan hak asasi teroris, dan anggaran.

Baca Juga:

Wacana tersebut dapat ditemukan dalam pelbagai kolom komentar, baik di berita online maupun pos beberapa akun Instagram yang kontennya cenderung berkaitan dengan militer. Hal ini setidaknya kembali muncul setelah pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, menyerahkan rancangan peraturan presiden tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Simplifikasi ini tentu berpotensi negatif terhadap wacana penolakan pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme. Jika dibaca secara saksama, penolakan itu justru lahir karena ketidaktaatan pemerintah terhadap aturan, terutama Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Undang-Undang TNI memberikan ruang kepada pelibatan TNI dalam menangani terorisme melalui operasi militer selain perang. Pelibatan tersebut sudah diatur dengan jelas. Misalnya, pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Hal ini tak diatur dalam peraturan pemerintah tersebut.

Peraturan presiden ini menyebutkan bahwa penggunaan kekuatan TNI itu cukup dilakukan berdasarkan perintah presiden. Padahal Undang-Undang TNI menggariskan bahwa presiden harus mendapat persetujuan DPR lebih dulu. Dalam keadaan mendesak pun presiden harus melapor kepada DPR dalam waktu 2 x 24 jam setelah keputusan keluar.

Ada pula masalah sistem peradilan pidana. Sesuai dengan undang-undang, terorisme termasuk tindak pidana. Ketentuan ini membuat mekanisme penanganannya tunduk kepada sistem peradilan umum. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri juga mengamanatkan hal tersebut.

Peraturan presiden itu tidak mengatur hal tersebut. Jika TNI tidak tunduk kepada peradilan umum, bagaimana akuntabilitas pertanggungjawabannya nanti jika terjadi kekerasan dan pelanggaran hak asasi di lapangan yang disebabkan oleh prajurit TNI?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Persoalan lain yang juga patut disoroti adalah status pelibatan dan eskalasi ancaman. Peraturan presiden itu tak mengatur secara jelas status pelibatan TNI. Menurut undang-undang, pelibatan TNI itu berada di bawah kendali operasi kepolisian, yang berarti merupakan bagian dari tugas perbantuan TNI kepada kepolisian. Perbantuan itu pun dilakukan jika eskalasi terorisme berpotensi berada di luar kapasitas kepolisian untuk menanganinya, misalnya jika eskalasi terorisme sudah tinggi.

Eskalasi itu bersifat fluktuatif, sehingga militer tidak selalu dibutuhkan terus-menerus dalam penanganannya karena, dalam eskalasi tertentu, kepolisian mampu mengatasinya, seperti dalam kasus-kasus terorisme beberapa waktu belakangan ini. Pertimbangan lain yang relevan adalah agar perbantuan itu tidak mengurangi kemampuan perang militer dalam menjalankan tugas utamanya karena domain perang militer tentu bukan pada sistem peradilan pidana.

Dengan demikian, keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme seharusnya bersifat kasuistis, yaitu jika eskalasi terorisme berpotensi berada di luar kapasitas kepolisian. Jika hal itu terjadi, presiden, setelah berkonsultasi dengan dan mendapat persetujuan DPR, mengeluarkan keputusan politik atau peraturan presiden mengenai pelibatan TNI untuk membantu pemberantasan terorisme di daerah yang bersangkutan.

Persoalan eskalasi ancaman juga tak diatur dengan jelas dalam peraturan presiden itu. Peraturan tersebut justru hanya mengatur ihwal obyek aksi terorisme, seperti presiden dan wakil presiden beserta keluarga serta mantan presiden dan mantan wakil presiden beserta keluarganya. Bahkan peraturan itu membuka peluang untuk keterlibatan TNI secara lebih mudah karena obyeknya berkaitan dengan ideologi negara. Dalam hal ini, tentu kepolisian masih bisa menangani.

Penjelasan ihwal eskalasi ini dibutuhkan sebagai dasar perbantuan terhadap kepolisian dan prosedur standar jika keterlibatan itu dilakukan secara langsung. Penjelasan mengenai hal ini pun seharusnya lebih rinci memuat informasi, seperti dalam eskalasi macam apa perbantuan diberikan, dalam eskalasi seperti apa yang melampaui kapasitas kepolisian, batas waktu perbantuan, skala wilayah, dan divisi yang diturunkan.

Melalui tulisan ini, saya berupaya menunjukkan bahwa penolakan pelibatan TNI tersebut tidak berangkat dari pemikiran subyektif, melainkan pemikiran yang obyektif, konstitusional, dan dalam upaya menjaga reformasi TNI. Keterlibatan TNI tentu perlu disesuaikan dan melengkapi prasyarat yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


18 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

24 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.


Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

15 Januari 2024

Mantan Menkominfo Johnny G. Plate divonis 15 tahun penjara setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Mei 2023 dalam kasus korupsi proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan Kemenkominfo. Johnny bersama sejumlah tersangka lainnya diduga melakukan pemufakatan jahat dengan cara menggelembungkan harga dalam proyek BTS dan mengatur pemenang proyek hingga merugikan negara mencapai Rp 8 triliun. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

PPATK menemukan 36,67 persen aliran duit dari proyek strategis nasional mengalir ke politikus dan aparatur sipil negara. Perlu evaluasi total.