Misi pemerintah mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan sekaligus mandiri energi memang masih jauh dari kenyataan di negeri ini. Banyak yang berpendapat masalahnya terletak pada ketidakmampuan negara untuk mengembangkan teknologi yang murah dan tepat guna untuk memproses energi terbarukan di tingkat lokal. Salahsatu yang tidak bisa dimanfaatkan adalah mengubah sampah menjadi barang bernilai ekonomis cukup tinggi contohnya listrik.
Selama ini memang ada keterbatasan anggaran pemerintah dalam membangun proyek-proyek pengolahan sampah di berbagai daerah. Wajar jika pemerintah berharap pada dunia usaha untuk berinvestasi di sektor ini. Dinamika sosiopolitik di antara pemangku kepentingan di negara ini menambah kompleksitas persoalan.
Selama ini, pengelolaan sampah kota selalu menimbulkan masalah. Pada 2019, Jakarta menghasilkan 7700 ton sampah setiap hari plus sekitar 250 ton per hari yang diangkut dari badan air (sumber: Pemprov DKI Jakarta). Dalam lima tahun terakhir, jumlah sampah di DKI Jakarta bertambah sebanyak 36 persen dengan perkiraan setiap orang menghasilkan 0.75 kg sampah per harinya.
Kota-kota besar lainnya, terutama di Pulau Jawa, juga menghadapi persoalan yang sama. Peningkatan jumlah penduduk tidak disertai dengan kemampuan kota mengolah sampah. Pada akhirnya mayoritas sampah hanya ditimbun di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) atau tercecer sepanjang badan air dan akhirnya terbuang di laut. Ini membuat cita-cita Indonesia Bebas Sampah 2025 sulit menjadi kenyataan.
Karena itu, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Kota (PLTSa) untuk membantu mengatasi pengelolaan sampah yang kompleks jadi penting. PLTSa adalah proses mengubah sampah menjadi energi dalam bentuk listrik dan/atau panas.
Jadi PLTSa menawarkan dua keuntungan. Pertama, mengurangi ketergantungan kita pada bahan bakar fosil serta kedua, mengolah limbah dengan memanfaatkannya sebagai sumber daya energi terbarukan.
PLTSa juga mengurangi kebutuhan lahan karena pengolahannya tidak menghasilkan residu sampah (zero waste) dan tidak mencemari lingkungan terutama melalui emisi udara (zero toxic pollution).
Hanya saja, untuk membuat investasi di sektor ini menarik, perlu dibuat jaminan pembelian listrik dari PLTSa oleh PLN. Selain itu, pengusaha juga perlu jaminan pembayaran bea pengolahan sampah oleh Pemda sesuai kemampuan anggaran Pemda.
Keseriusan pemerintah dalam mendorong pembangunan PLTSa oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Swasta baik dalam maupun luar negeri diperkuat dengan keluarnya kebijakan Peraturan Presiden (Perpres) khusus di bidang PLTSa yang sudah mengalami perbaikan dua kali.
Perpres No. 35 Tahun 2018 itu bertujuan mempercepat investasi PLTSa di 12 kota (DKI Jakarta, Kota Tangerang, Tangerang Selatan, Kota Bekasi, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, Kota Makassar, Kota Denpasar, Kota Palembang dan Kota Manado). Pemerintah berharap pembangunan PLTSa di 12 kota tersebut menjadi percontohan bagi Pemda seluruh Indonesia untuk bekerjasama dengan berbagai Badan Usaha dalam menanggulangi problema persampahan di kotanya masing-masing.
Dunia usaha juga merespon positif penerbitan aturan itu, ditandai dengan banyaknya peserta tender yang dilakukan oleh Pemda di 12 kota. Ini karena Perpres memberikan kepastian berusaha dengan tingkat pengembalian modal yang cukup menarik.
Akan tetapi patut disayangkan, dua tahun setelah Perpres ini dikeluarkan, kini muncul rekomendasi berbeda dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga penegak hukum ini rupanya menganggap ada kerugian negara yang timbul dalam peraturan yang mewajibkan PLN dan Pemda membeli listrik dari PLTSa dengan tarif keekonomian dan membayar bea pengolahan sampah (tipping fee).
KPK menganggap penugasan pemerintah pada PLN untuk melakukan pembelian listrik dari sampah, bisa merugikan PLN dan Pemda. Pasalnya, kedua institusi itu harus membayar bea pengolahan sampah, sebuah beban tambahan yang sebelumnya tidak ada.
Menurut saya, rekomendasi KPK itu keliru. Salah persepsi ini sebaiknya diselesaikan oleh kementerian terkait yang melakukan kajian teknis dan komersial terhadap Perpres Nomor 35 Tahun 2018 sebelum menjadi polemik di masyarakat. Polemik yang berkepanjangan dapat menimbulkan keraguan para pelaku usaha/investor PLTSa, PLN dan Pemda dalam melanjutkan proyek ini.
Masalah lain dari rekomendasi KPK terletak pada usulnya agar pemerintah mencari alternatif lain dalam mengolah sampah dengan menerapkan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle).
Memang betul pengolahan sampah yang ideal adalah dengan menerapkan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Metode 3R dapat mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan, mengurangi penimbunan sampah, dan menghemat anggaran Pemda dalam mengolah sampahnya. Akan tetapi perlu diingat bahwa penerapan metode 3R yang berkelanjutan memerlukan perubahan kebiasaan setiap individu penghasil limbah. Ini merupakan proses yang sangat panjang. Mengubah pola pikir puluhan hingga ratusan juta orang tidaklah mudah.
Pemerintah sudah memperkenalkan metode 3R melalui Undang-Undang No. 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, tapi tidak memberikan hasil yang berarti. Sepuluh tahun lebih berlalu, tak ada perubahan dalam pola penanganan sampah di negeri ini.
Itulah mengapa PLTSa sangat dibutuhkan. Metode ini dapat mengurangi penimbunan sampah secara cepat tanpa menunggu perubahan perilaku jutaan penduduk kota.
Timbunan sampah memang masalah yang harus dihadapi masyarakat kota setiap hari. Persoalan sampah yang makin kompleks akan merusak citra sebuah kota. Karena itu, menurut saya, perdebatan antara KPK dengan berbagai pemangku kepentingan di Indonesia tentang pengolahan sampah ini sebenarnya tidak perlu terjadi. Perdebatan itu tidak akan mengubah fakta ada jutaan ton sampah yang tidak tertangani jika pemerintah tidak bertindak cepat.
Dengan demikian, mempercepat pembangunan PLTSa untuk mengatasi masalah sampah di 12 kota di Indonesia bisa jadi merupakan solusi terbaik yang tersedia saat ini. Selain membantu ketersediaan energi, PLTSa juga mengatasi masalah kesehatan dan lingkungan.
Penting untuk dicatat bahwa solusi pragmatis ini tentu tidak dapat dianggap sebagai solusi permanen untuk masalah pengelolaan limbah yang kompleks. Akan tetapi, menurut saya, beban penugasan pembelian listrik oleh PLN dengan tarif keekonomian tidak bisa serta merta dianggap merugikan negara, sepanjang ada manfaat lain yang dirasakan masyarakat kota.
Apalagi, penugasan kepada PLN bukan hal baru di negeri ini. Penugasan semacam itu mau tak mau membawa konsekuensi beban tambahan terhadap kondisi keuangan PLN. Salah satu penugasan PLN adalah melistriki daerah-daerah tertinggal di seluruh pelosok Nusantara. Konsekuensinya, PLN kerap harus memberdayakan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang berbiaya mahal.
Tak hanya mahal, pengadaan PLTD juga membawa beban biaya tak sedikit karena pelanggan PLN di daerah tertinggal ini mayoritas adalah rumah tangga tidak mampu. Apakah perluasan akses listrik kepada masyarakat daerah tertinggal ini juga dianggap merugikan negara?
Untuk mencapai tujuan pembangunan, Indonesia sangat membutuhkan partisipasi luas dari berbagai badan usaha di dalam dan di luar negeri. Membangun infrastruktur strategis seperti pembangkit listrik di daerah tertinggal dengan sumber energi terbarukan atau pembangkit listrik bertenaga sampah di kota-kota besar bisa menyelesaikan banyak masalah. Jangan sampai kepercayaan investor yang sudah siap membangun berbagai infrastruktur itu hilang. (*)