Presiden Joko Widodo sebaiknya mengevaluasi kembali posisi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly, yang tidak memberikan informasi yang benar kepada publik tentang keberadaan Harun Masiku. Harun adalah tersangka kasus suap komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan.
Kasus Harun berawal dari operasi tangkap tangan terhadap Wahyu Setiawan pada 8 Januari 2020. Calon anggota legislatif dari PDI Perjuangan itu menyuap Wahyu agar dapat duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat, menggantikan Nazarudin Kiemas yang meninggal. Saat itu status Harun masih tanda tanya.
Informasi yang diperoleh Tempo menyebutkan Harun tercatat terbang ke Singapura pada 6 Januari 2020 dengan pesawat Garuda Indonesia. Pada 7 Januari 2020, dia kembali ke Jakarta melalui Bandara Soekarno-Hatta dengan menggunakan Batik Air. Pada saat operasi tangkap tangan, Harun terpantau berada di sekitar kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Sejak saat itu, keberadaan Harun tidak terlacak penyidik KPK.
Menteri Yasonna, yang juga pengurus PDI Perjuangan, pada 16 Januari 2020 atau sepekan setelah penangkapan mengatakan Harun masih berada di luar negeri. Bahkan dia berkukuh mengatakan Harun belum kembali ke Indonesia.
Keberadaan Harun di Indonesia begitu jelas dan terang. Rekaman kamera di Bandara Soekarno-Hatta yang beredar di publik memperlihatkan Harun kembali ke Indonesia pada 7 Januari 2020. Bahkan istri Harun di Gowa, Sulawesi Selatan, Hildawati Jamrin, mengaku berkomunikasi dengan suaminya pada tanggal yang sama setelah ia kembali dari Singapura.
Yasonna akhirnya mengakui Harun sudah berada di Indonesia sejak 7 Januari 2020 dua pekan setelah ia dikabarkan menjadi buron ke luar negeri. Alasan Yasonna dan Dirjen Imigrasi Ronie Sompie, yakni karena keterlambatan input data di bandara, jelas tidak masuk akal dan dibuat-buat. Di era digital dan serba canggih ini, keluar-masuk orang di bandara pasti tercatat dengan jelas dan terinci. Kalaupun ada gangguan listrik, otoritas bandara pasti memiliki catu daya untuk memasok arus listrik.
Sebagai pejabat publik, secara etik Yasonna melanggar kepercayaan yang diberikan publik. Dia tidak memberikan informasi yang valid tentang Harun Masiku. Bila peristiwa itu terjadi di Amerika, pejabat negara seperti ini bisa dimakzulkan atau mengalami impeachment. Mengacu pada konstitusi Amerika, presiden, wakil presiden, dan pejabat lainnya bisa dilengserkan bila melakukan perbuatan seperti pengkhianatan, penyalahgunaan kekuasaan, atau bertindak tidak sesuai dengan fungsi dan jabatan. Di Jepang pun, bila pejabat baru diduga melakukan kesalahan, mereka sudah malu dan memilih mundur.
Yasonna seharusnya memiliki jiwa besar dan malu karena sudah memberikan informasi yang tak benar kepada publik. Publik akan menghargai bila dia bersikap kesatria dengan mundur dari posisinya sebagai menteri. Presiden Joko Widodo tidak akan terbebani oleh anak buahnya yang seperti itu.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 24 Januari 2020