Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Masalah Narasi Kesuksesan Pemerintah

image-profil

image-gnews
Masalah Narasi Kesuksesan Pemerintah
Masalah Narasi Kesuksesan Pemerintah
Iklan

Ronny P. Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mencatat beberapa capaian ekonomi makro pemerintah. Tapi, jika ditelisik lebih rinci, sifatnya masih sangat tentatif, bergantung pada dari mana kita melihatnya. Pertama, soal inflasi yang rendah, yang rata-rata berada di kisaran 3-4 persen per tahun. Pemerintah tentu boleh mengatakan itu sebuah prestasi. Dalam konteks konvensional, inflasi rendah bisa bermakna bagus karena pemerintah dianggap berhasil meredam gejolak harga.

Tapi, coba kita sandingkan dengan data tren penurunan konsumsi rumah tangga serta kapasitas ekspor non-minyak dan gas bumi yang terus melemah, juga data impor komoditas yang justru terus meningkat. Apalagi jika kita kaitkan dengan keadaan di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Negara-negara besar yang terpapar stagnasi sejak krisis ekonomi 2008 itu sangat berharap inflasinya naik. Bahkan, di Amerika dan Eropa, untuk mencatatkan inflasi 2 persen ke atas saja, usahanya sangat berat.

Di Indonesia, di tengah inflasi yang rendah, terjadi pelemahan di sektor konsumsi rumah tangga, pelemahan ekspor nonmigas, dan peningkatan impor. Boleh jadi ini berarti penurunan daya beli. Saya yakin, sejak dua tahun lalu, pemerintah sangat memahami kondisi ini. Beberapa kali pemerintah telah menambah alokasi dana sosial dan subsidi energi untuk menahan pelemahan konsumsi rumah tangga. Hanya, narasi yang dibangun ketika itu bukanlah ancaman pelemahan daya beli, melainkan tekanan ekonomi akibat perlambatan pertumbuhan global.

Tak bisa dimungkiri, rendahnya raihan pertumbuhan ekonomi Indonesia diakibatkan oleh melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan penurunan kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB), selain kurang maksimalnya kinerja investasi dan ekspor nonmigas. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia pada kuartal I 2019 hanya tumbuh 5,07 persen dibanding periode yang sama tahun lalu atau tumbuh negatif 0,52 persen dibanding kuartal sebelumnya. Angkanya sejalan dengan melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Pada kuartal I 2019, pertumbuhan konsumsi tercatat sebesar 5,01 persen secara tahunan. Meski lebih baik dibanding periode yang sama tahun lalu, konsumsi sedikit melambat dibanding kuartal IV 2018, yang mencapai 5,08 persen.

Sebagai kontributor terbesar perekonomian, konsumsi rumah tangga menjadi salah satu acuan untuk mengukur ekonomi secara keseluruhan. Tren pertumbuhan konsumsi selalu sejalan dengan laju ekonomi. Saat konsumsi melambat, hal itu hampir dipastikan akan berefek pada agregat pertumbuhan ekonomi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di sisi lain, inflasi rendah lebih banyak didorong oleh pemerintah dari sisi pasokan, terutama dari sisi impor. Untuk kepentingan stabilisasi harga, pemerintah habis-habisan menjaga pasokan, tanpa banyak memikirkan kapasitas produksi dalam negeri, sehingga impor tak bisa terelakkan sampai data neraca dagang beberapa kali defisit.

Selanjutnya soal angka kemiskinan. Pemerintah selalu menarasikan telah berhasil menurunkan angka kemiskinan ke level single digit. Padahal, jika dilihat secara rinci, penurunan angka kemiskinan berada dalam tren normal, tak ada loncatan. Bahkan, dibanding beberapa tahun pemerintahan SBY, pemerintahan sekarang masih terbilang kalah angka. Jika membandingkan indikator kemiskinan dalam dua rezim, pemerintahan SBY periode pertama mampu menurunkan angka kemiskinan sebesar 2,51 persen, dari 16,66 persen pada 2004 menjadi 14,15 persen pada akhir 2009. Pada periode kedua pemerintahan, SBY menorehkan hasil lebih baik dengan menurunkan 3,19 persen angka kemiskinan, dari 14,15 persen menjadi 10,96 persen. Rata-rata penurunannya per tahun 0,57 persen.

Selama empat tahun pemerintahan berjalan, Jokowi berhasil menurunkan angka kemiskinan sebesar 1,14 persen atau rata-rata 0,28 persen per tahun. Bila dipukul rata, tentu terlihat jelas bahwa SBY jauh lebih mumpuni ketimbang Jokowi dalam hal penurunan angka kemiskinan. Dalam konteks ini, agak susah juga diterima raihan penurunan angka kemiskinan pemerintahan Jokowi sebagai sebuah prestasi. Lagi pula, penurunan angka kemiskinan, juga penurunan angka pengangguran, sangat berkaitan dengan raihan pertumbuhan ekonomi.

Jadi, agak kontradiktif jika di satu sisi pemerintah gagal dari sisi pertumbuhan, tapi sukses dalam mengurangi angka kemiskinan. Selama ini banyak pihak mempersoalkan rendahnya pertumbuhan ekonomi karena akan berimbas pada kapasitas perekonomian nasional dalam mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran di tengah laju pertumbuhan penduduk dan laju angkatan kerja yang cukup tinggi (bonus demografi). Sejatinya kekhawatiran tersebut sangat beralasan, apalagi ditambah dengan variabel ancaman middle income trap di balik rendahnya angka pertumbuhan.

 
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

2 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

6 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

22 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

22 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

43 hari lalu

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

46 hari lalu

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

46 hari lalu

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

52 hari lalu

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Terkini: Seruan Pemakzulan Jokowi karena Penyelewengan Bansos, Gaji Ketua KPU yang Melanggar Etik Loloskan Gibran

52 hari lalu

Warga membawa beras dan bantuan presiden pada acara Penyaluran Bantuan Pangan Cadangan Beras Pemerintah di Gudang Bulog, Telukan, Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis 1 Februari 2024. Presiden memastikan pemerintah akan menyalurkan bantuan 10 kilogram beras yang akan dibagikan hingga bulan Juni kepada 22 juta masyarakat Penerima Bantuan Pangan (PBP) di seluruh Indonesia. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Terkini: Seruan Pemakzulan Jokowi karena Penyelewengan Bansos, Gaji Ketua KPU yang Melanggar Etik Loloskan Gibran

Berita terkini: Seruan pemakzulan Presiden Jokowi karena dugaan penyelewengan Bansos, gaji Ketua KPU yang terbukti langgar etik meloloskan Gibran.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

53 hari lalu

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.