TAK diliriknya Indonesia oleh investor asing seharusnya membuat pemerintah Joko Widodo mawas diri. Pembangunan infrastruktur yang gencar pada periode pertama Jokowi belum bisa memancing investor melirik negeri ini. Sebab, memang, ada banyak hal yang ditimbang oleh mereka sebelum membenamkan modal.
Pengusaha yang berinvestasi langsung akan berpikir untuk kepentingan jangka panjang. Sebab, mereka harus mengurus segala perizinan, membangun pabrik, merekrut tenaga kerja, dan menyiapkan jaringan bisnis. Infrastruktur yang membaik saja tidak cukup. Industri memerlukan pelbagai penopang agar usaha berkelanjutan.
Maka, sesungguhnya Presiden Joko Widodo tak perlu kesal ketika mendengar tak ada satu pun dari 33 perusahaan terbuka asal Cina yang merelokasi pabrik ke Indonesia. Mereka memilih negara seperti Vietnam, Thailand, dan Meksiko. Negara-negara itu dianggap lebih baik dalam hal melindungi uang para investor ketimbang Indonesia.
Peringkat kemudahan berinvestasi Vietnam, misalnya, memang lebih tinggi dibanding Indonesia. Tahun ini, peringkat kemudahan kita turun dari 72 ke 73, sementara Vietnam bertengger di peringkat ke-69. Artinya, bukan hal yang aneh jika para investor lebih melihat negeri itu ketimbang Indonesia, meski negeri ini memiliki konsumen yang jauh lebih banyak. Toh, dengan teknologi, pemasaran barang kini bisa lintas negara dengan mudah.
Data terbaru Bank Dunia pun memperlihatkan sejumlah indikator kemudahan investasi di Indonesia melorot justru pada faktor penting, seperti perizinan konstruksi, perlindungan investor minoritas, perdagangan lintas batas, dan penegakan kontrak. Vietnam punya keunggulan di empat indikator yang penting ini.
Hal lain yang acap dipertimbangkan oleh para investor adalah kepastian hukum dan keamanan. Pemerintah Jokowi jeblok dalam dua hal ini. Komisi Pemberantasan Korupsi akan dilemahkan oleh para politikus dan hukum cenderung diperdagangkan. Keamanan pun rentan akibat pemerintah tak cekatan mencegah-bahkan main-main-isu-isu sensitif, seperti Papua.
Belakangan, Presiden Jokowi malah lebih syur pada urusan memindahkan ibu kota yang menyedot banyak energi dan menimbulkan kegaduhan yang tak perlu. Jika benar Jokowi ingin membuat ekonomi Indonesia digdaya, seharusnya ia berfokus memerangi faktor penghambat investasi. Pemerintah perlu membenahi hukum perburuhan, kualitas tenaga kerja, hingga soal keamanan dan politik. Sebab, di tengah inflasi yang naik, nilai tukar rupiah yang melemah, investasi langsung adalah obat mujarab untuk menegakkan ekonomi Indonesia yang loyo akibat defisit neraca perdagangan yang membengkak.
Tanpa investasi langsung, ekonomi Indonesia terancam meledak dalam krisis karena penahannya hanya uang panas portofolio yang gampang kabur begitu situasi ekonomi memburuk. Maka, pemerintah Jokowi seharusnya meninggalkan berbagai program yang bukan prioritas dan segera membenahi masalah di depan mata, seperti urusan kemudahan berinvestasi.