Idul Rishan
Staf Pengajar Departemen Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia
Hampir dipastikan, periode kedua pemerintahan Joko Widodo akan ditopang oleh koalisi gemuk di parlemen. Mayoritas partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat akan bahu-membahu menyukseskan program kebijakan yang dicanangkan pemerintah.
Bisa dibayangkan, jika mayoritas partai politik di DPR bersekutu dengan pemerintah, presiden tidak hanya menjadi episentrum kekuasaan eksekutif, tapi juga pengendali kekuatan partai-partai politik di parlemen. Aroma bagi-bagi kekuasaan sudah mulai tercium. Selain soal jatah di kabinet, perebutan kursi pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi bagian yang tak terpisahkan. Dengan koalisi mayoritas, MPR akan menjadi lembaga strategis pada masa pemerintahan lima tahun ke depan. Jika koalisi pemerintah benar-benar solid, MPR bisa saja bereksperimen untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD).
Dalam ranah konseptual, relasi eksekutif-legislatif ini menjadi wilayah yang cukup menarik dalam sistem presidensial. Kenyataannya, sistem pemerintahan kita pasca-transisi politik cenderung bergerak secara dinamis. Setidaknya ada dua pola relasi eksekutif-legislatif yang selama ini menjadi basis konvensi kenegaraan dalam sistem multi-partai.
Pola pertama, bangunan koalisi dengan corak minoritas. Dalam langgam ini, presiden tidak mendapat dukungan dari sebagian besar partai politik di parlemen. Pembelahan pemerintahan sangat mungkin terjadi karena relasi eksekutif-legislatif cenderung bersifat konfrontatif. Kondisi ini pernah dialami sendiri oleh Presiden Jokowi-JK pada awal-awal masa pemerintahan 2014-2019. Dengan dukungan minoritas, presiden kesulitan membangun program-program pemerintahan. Kondisi ini semakin diperparah oleh desain UUD pasca-amendemen yang mendelegasikan banyak kewenangan kepada DPR berupa pertimbangan dan persetujuan.
Pola kedua, bangunan koalisi dengan corak mayoritas. Pada langgam ini, mau tidak mau, presiden merangkul mayoritas partai politik untuk bergabung ke koalisi pemerintahan. Ini sedikit beraroma parlementer karena relasi eksekutif-legislatif melebur jadi satu (Alferd Stephen & Cindy Skach: 1993). Cara ini dipercaya sebagai alternatif membangun stabilitas pemerintahan. Dengan dukungan mayoritas partai politik, kebijakan-kebijakan pemerintah relatif bisa berjalan mulus di parlemen. Termasuk di dalamnya soal keinginan untuk melakukan amendemen kelima UUD.
Dengan bangunan koalisi mayoritas, pintu amendemen konstitusi menjadi sangat terbuka lebar. Siasat amendemen ini bisa dianalogikan seperti uang koin. Di satu sisi bisa memperkuat percepatan kebutuhan demokrasi, tapi di sisi lain bisa menjadi jebakan otoritarianisme. Perlu diingat bahwa proses perubahan UUD bisa berjalan tanpa kontrol.
Jika melihat prosedur dan beberapa syarat formal perubahan UUD, kelembagaan MPR merupakan forum joint session anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Untuk kuorum DPD bisa saja tidak dapat menjadi penyeimbang kekuatan mayoritas partai politik di MPR, mengingat anggota DPR terdiri atas 575 orang dan anggota DPD hanya 136 orang. Sementara itu, Pasal 37 UUD mensyaratkan sepertiga jumlah anggota untuk usul perubahan, dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga dan 50 persen plus satu untuk persetujuan perubahan.
Dalam peta politik demikian, perubahan UUD sangat ditentukan oleh kekuatan mayoritas partai politik pendukung pemerintah di DPR. Agenda amendemen ini tentu bisa menjadi bola liar karena materi perubahan cenderung bersifat sangat kompromistis. Sebut saja soal gagasan perubahan yang sudah semakin mengkristal pada penguatan kelembagaan MPR dalam menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Menyerahkannya semata-mata pada kekuatan politik mayoritas tentu akan menghasilkan kompromi politik yang sangat sektoral. MPR sebagai lembaga yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD rawan terjebak dalam konflik kepentingan. Apalagi jika materi perubahannya menyangkut soal penguatan kelembagaannya sendiri.
Jika benar amendemen UUD akan digulirkan, ada baiknya memperhitungkan pembentukan Komisi Konstitusi, badan khusus yang dibentuk secara independen dan bersifat non-partisan untuk mengkaji materi perubahan UUD. Belajar dari Spanyol, Filipina, dan Thailand, perubahan konstitusinya dilakukan melalui konvensi khusus dengan pembentukan komisi khusus. Langkah ini dibangun agar usul dan hasil perubahan konstitusi tidak bias dari kekuatan politik pemerintah a quo (David G. Timbermand, ISEAS: 1999).
Pentingnya membentuk komisi konstitusi pada dasarnya dipengaruhi oleh alasan paradigmatis. Partai politik berdiri pada basis untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, sementara konstitusi berpijak pada basis pembatasan kekuasaan. Memberikan peran mayoritas kepada partai politik terhadap perubahan UUD sama artinya memberi kesempatan partai untuk merebut atau mempertahankan kekuasaannya. Itu sebabnya agenda perubahan UUD perlu dikaji dengan basis rasionalitas yuridis, sosiologis, dan filosofis. Apakah perubahan itu memang benar-benar dibutuhkan guna membangun percepatan demokratisasi? Jika tidak, gagasan amendemen ini bisa membawa pemerintah Jokowi-Ma’ruf pada jebakan otoritarianisme.