Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Mencegah Kembalinya GBHN

Oleh

image-gnews
Diskusi Empat Pilar MPR bertema
Diskusi Empat Pilar MPR bertema "Rekomendasi Amandemen (Konstitusi) Terbatas Untuk Haluan Negara" di Ruang Media Center MPR/DPR/DPD RI, Senin, 29 Juli 2019.
Iklan

Rencana sejumlah partai politik mendorong amendemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan mengembalikan keberadaan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam konstitusi harus ditolak sejak dini. Rencana itu tidak hanya ­mubazir, tapi juga berpotensi membahayakan demokrasi ­Indonesia.

Ketika model perencanaan jangka panjang pertama kali diperkenalkan dalam sistem tata negara kita pada era Orde Lama dengan nama Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana, Indonesia belum sepenuhnya menerapkan demokrasi. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang mengesahkan dokumen berjudul Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969 itu pun bukan parlemen pilihan rakyat. Lembaga itu dibentuk atas dasar Dekrit Presiden Sukarno pada 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante hasil Pemilihan Umum 1955.

Baca Juga:

Karena itu, keberadaan Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana di era Presiden Sukarno tersebut tidak bisa menjadi acuan untuk menghidupkan kembali dokumen serupa di era demokrasi seperti sekarang. Terlebih MPRS yang sama kemudian menetapkan Sukarno sebagai presiden seumur hidup pada 1963.

Pada era Orde Baru, GBHN disahkan MPR sebagai pedoman pembangunan yang harus dijalankan mandatarisnya, yakni presiden. Pola ini dibentuk karena presiden ketika itu dipilih MPR. Tentu kita semua tahu bahwa pola relasi ini hanya kamuflase untuk menyembunyikan penguasa sebenarnya di era itu, yakni Soeharto.

Walhasil, gagasan GBHN pada dasarnya berasal dari era ketika Indonesia belum menjadi negara demokratis. Menghidupkan kembali dokumen itu jelas langkah mundur. Sejak Pemilihan Umum 2004, Indonesia menerapkan demokrasi dengan sistem presidensial: presiden yang mendapat suara terbanyak dalam pemilihan langsung memiliki kewenangan untuk menyusun program pembangunan sesuai dengan janji yang dia sampaikan kepada rakyat di masa kampanye.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai pengganti GBHN, di era reformasi ini, kita sudah memiliki Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004. Sistem ini mencakup perencanaan pembangunan jangka panjang (20 tahun), jangka menengah (5 tahun), dan rencana kerja tahunan. Berbeda dengan GBHN, rencana-rencana kerja ini harus dibahas bersama masyarakat melalui musyawarah perencanaan pembangunan, yang diadakan berjenjang dari tingkat kelurahan sampai pusat.

Dengan cara ini, masyarakat punya kesempatan menyuarakan apa yang diinginkannya untuk diadopsi pemerintah. Dari sini, cetak biru pembangunan adalah wadah suara orang banyak. Dengan kata lain, keluhan sejumlah politikus bahwa saat ini Indonesia tidak punya arah pembangunan jangka panjang, yang kemudian memicu terjadinya benturan antara rencana di tingkat nasional dan daerah, adalah persepsi yang sungguh keliru. Patut diduga ada udang di balik batu: ada rencana lain di balik upaya menghidupkan GBHN.

Secara politik, mengembalikan GBHN akan membuka opsi amendemen lain yang lebih krusial dan genting. Jika presiden wajib menjalankan GBHN dan MPR menjadi lembaga tertinggi negara, proses pemilihan presiden pun kelak cukup diadakan di Senayan. Jika ini terjadi, sistem politik Indonesia akan sepenuhnya jatuh ke dalam genggaman oligarki. Inilah akhir dari era demokrasi di negeri ini. Karena itu, rencana MPR menghidupkan kembali GBHN harus ditolak mentah-mentah.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


18 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

24 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.


Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

15 Januari 2024

Mantan Menkominfo Johnny G. Plate divonis 15 tahun penjara setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Mei 2023 dalam kasus korupsi proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan Kemenkominfo. Johnny bersama sejumlah tersangka lainnya diduga melakukan pemufakatan jahat dengan cara menggelembungkan harga dalam proyek BTS dan mengatur pemenang proyek hingga merugikan negara mencapai Rp 8 triliun. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

PPATK menemukan 36,67 persen aliran duit dari proyek strategis nasional mengalir ke politikus dan aparatur sipil negara. Perlu evaluasi total.