Hamburg September 1946 adalah lidah neraka yang menjilat bumi. Sebuah peristiwa yang kemudian disebut sebagai “The Hiroshina of Germany” telah menghajar Jerman, terutama kota Hamburg, akibat oleh serangan udara “Operation Gomorrah” tiga tahun sebelumnya. Hamburg luluh lantak. Semua bangunan, semua sekolah, rumah sakit, museum dan terutama penduduk.
Pada saat itulah Rachael Morgan (Keira Knightley) tiba di Hamburg yang sudah terdiri dari debu, tengkorak dan darah kering. Dari jendela mobil, Rachael menyaksikan bagaimana sisa penduduk Hamburg yang mengais-ngais puing-puing yang bercampur dengan tulang belulang dan tengkorak. Rachael bergabung dengan suaminya Kolonel Lewis Morgan (Jason Clarke) yang bertugas mengawasi pembangunan kembali kota Hamburg, sekaligus bersama timnya melakuan interogasi pada sisa-sisa penduduk Hamburg tentang ‘seberapa jauh’ atau ‘seberapa dekat’ mereka atau keluarga mereaka dengan Nazi.
Tentu saja ini bukan film politik. Di rumah mewah yang ditempati pasangan yang tengah tegang ini –karena putera tunggal mereka tewas kena bom Jerman—mereka berkenalan dengan pemilik rumah, arsitek ganteng Stefan Lubert (Alexander Skarsgård) dan puteri remajanya yang juga kehilangan sang ibu yang kena bom sekutu. Dan hanya pada adegan awal pertemuan pertama, sudah tergambar ketegangan erotika antara Lubert dan Rachael.
Film yang diangkat dari novel karya Rhidian Brook ini jelas sejak awal ingin mengisahkan bahwa kedua pihak sama-sama memiliki korban. Lebih jauh lagi , Lubert yang diinterogasi oleh para kolega Kolonel Lewis yang ingin mengulik hubungannya dengan Nazi memperlihatkan bahwa bahkan warga Jermanpun (ada yang) membenci tindakan Nazi dan Hitler. Tetapi politik-politikan ini kemudian beralih pada kisah cinta terlarang antara Lubert dengan Rachael. Sejak awal sutradara James Kent sudah memperlihatkan bagaimana hubungan suami-istri yang sudah bermasalah dan berjarak karena kematian sang putera. Dengan demikian penonton seakan memberi ‘permakluman’ bagi Rachael yang ingin memulai hidup baru (“perkawinan kita sudah mati sejak kematian anak kita,” demikian kata Rachael pada suaminya). Sejak awal pula, Rachael justru tak setuju bapak anak Jerman itu diizinkan tinggal bersama di rumah milik Lubert yang sudah diakuisisi pihak Inggris itu.
Di atas kertas, sebetulnya film ini cukup berani untuk mengangkat tema yang mencoba menyatakan betapa tidak hitam putihnya situasi saat Perang Dunia II; bahwa masyarakat Jerman yang ‘terpaksa’ memasang foto Fuuhrer tak berarti memujanya, melainkan karena di bawah rasa gentar. Keinginan untuk adil itu memang penting, tetapi tak cukup diselesaikan dengan plot yang simplistik: jatuh cinta. Dan problemnya, soal asmara inilah yang ternyata menjadi pusat cerita.
Meski Keira Knightley dan Alexander Skarsgård tampil meyakinkan, tema cinta terlarang yang menjadi titik berat film tak berhasil membuat film ini menghasilkan sebuah wacana pemikiran. Banyak subplot lain , misalnya soal puteri Lubert yang berkencan dengan anggota kaum ekstrimis, yang tak sempat dijelajahi. Sosok Kolonel Lewis Morgan yang diperankan Jason Clarke justru menjadi satu-satunya karakter yang berhasil tampil lengkap dengan kompleksitasnya. Seorang ayah yang kehilangan, yang mengubur rasa duka dan tak mampu membangun hubungannya kembali dengan sang isteri.
Akhir film juga terasa terburu-buru dan dipaksakan. Ada problem sutradara dan penulis skenario yang tak menyadari—atau tak berhasil—mengenal bahwa novel Brook ini sebetulnya sebuah novel psikologis.
THE AFTERMATH
Sutradara: James Kent
Skenario: Joe Shrapnel dan Anna Waterhouse
Berdasarkan “The Aftermath” karya Rhidian Brook
Pemain: Keira Knightley, Jason Clarke, Alexander Skarsgård