SEMBILAN nama yang diumumkan Presiden Joko Widodo sebagai anggota Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mewakili gambaran suram masa depan pemberantasan korupsi di negeri ini. Tanpa rekam jejak meyakinkan dalam gerakan antikorupsi, dikhawatirkan mereka tidak punya perspektif yang tepat dalam memilih jajaran pemimpin KPK yang dibutuhkan publik empat tahun ke depan.
Selain rekam jejak, masalah utama panitia seleksi KPK kali ini adalah kedekatan mereka dengan polisi. Tiga dari sembilan anggota panitia bekerja sebagai penasihat Kepala Kepolisian RI dan pengajar sekolah perwira polisi. Satu orang lagi kerap diundang sebagai saksi ahli untuk polisi di pengadilan. Karena rutin berhubungan dengan Korps Bhayangkara, jelas kuping mereka lebih peka mendengar kepentingan polisi dalam seleksi pemimpin KPK.
Kedekatan itu bermasalah karena hubungan KPK dan kepolisian kerap diwarnai konflik. Sejak periode awal kepemimpinan KPK, polisi selalu menyerang balik ketika penyidik KPK mengendus kasus korupsi di jajaran petinggi mereka. Kita masih ingat perseteruan "cicak versus buaya" yang dimulai pada 2009 ketika KPK menyadap telepon Kepala Badan Reserse Kriminal Inspektur Jenderal Susno Duadji, yang diduga menerima suap.
Tiga tahun kemudian, polisi kembali melawan ketika Kepala Korps Lalu Lintas Inspektur Jenderal Djoko Susilo disidik dalam kasus korupsi pengadaan simulator untuk ujian surat izin mengemudi. Terakhir, pada 2015, ketika Wakil Kepala Polri (ketika itu) Komisaris Jenderal Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka kasus rekening gendut, polisi lagi-lagi membuat kegaduhan. Dalam ketiga insiden itu, pemimpin KPK balik dijadikan tersangka oleh kepolisian.
Konflik antarlembaga penegak hukum yang seharusnya bekerja sama memberantas korupsi tentu tidak sehat. Namun solusinya bukan dengan membiarkan polisi mengendalikan siapa yang terpilih menjadi pemimpin KPK. Justru sebaliknya: Presiden Joko Widodo seharusnya menguatkan kapasitas lembaga itu.
Salah satu indikator penting untuk mengukur integritas calon pemimpin KPK adalah independensi mereka dari kekuasaan dan institusi yang kelak harus mereka awasi. Karena itulah calon pemimpin KPK yang semata-mata menjadi kepanjangan tangan kepolisian, kejaksaan, atau Badan Intelijen Negara seharusnya dicoret dari daftar.
Terlebih kondisi KPK saat ini sungguh memprihatinkan. Upaya pelemahan gerakan antikorupsi sudah merasuk ke sendi-sendi internal lembaga ini. Lebih dari 700 pegawai KPK resah dan menandatangani petisi menuntut perbaikan dari dalam. Diduga Deputi Penindakan KPK Inspektur Jenderal Firli sengaja menghambat penyidikan perkara korupsi yang melibatkan tokoh besar. Ada laporan bahwa barang bukti dalam kasus suap impor daging sapi yang disebut-sebut melibatkan Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian bahkan dirusak penyidik KPK dari kepolisian.
Ikhtiar mencari pemimpin KPK yang ideal seyogianya dimulai dari pemilihan panitia seleksi yang mumpuni dan bisa diterima semua kalangan. Jika kredibilitas lembaga penyaring pemimpin KPK saja pagi-pagi sudah dipertanyakan, sulit membayangkan hasil kerjanya bakal memuaskan harapan publik.
Masih ada waktu jika Presiden hendak merombak susunan panitia seleksi. Periode kepemimpinan KPK baru berakhir pada 21 Desember mendatang. Jangan sampai sejarah mencatat pemberantasan korupsi mundur ke titik nadir justru pada periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi. Selama korupsi masih merajalela, Indonesia butuh KPK yang kuat dan independen.