Putu Setia
@mpujayaprema
Di bulan yang penuh berkah dan ampunan ini, terjadi kerusuhan di Jakarta. Ada korban jiwa, banyak yang luka, dan ada mobil yang dibakar. Berkah apa yang bisa dijadikan sesuluh untuk masa mendatang? Lalu siapkah kita meminta ampun agar kesesatan berakhir?
Adalah omong kosong jika kerusuhan Jakarta sepanjang dua hari, 21-22 Mei lalu, dilepaskan dari masalah pemilihan umum yang tahapannya sudah berakhir. Tidak masuk akal pula jika kerusuhan itu tak dikaitkan dengan persoalan ada calon presiden yang dinyatakan kalah oleh Komisi Pemilihan Umum tapi tidak bisa menerimanya. Narasi yang dibuat oleh kubu calon presiden yang kalah demikian terstruktur, bahkan sudah digaungkan sebelum penghitungan suara selesai. Kecurangan dijadikan tema utama, dan tema lain menyusul, seperti tak percaya kepada Mahkamah Konstitusi sehingga memilih people power sebagai jalan untuk mencari keadilan.
Gaung ini dipercaya oleh pendukungnya sebagai jalan kebenaran. Bahkan ketika para elite di kubu itu berubah sikap dengan mengajukan sengketa ke MK, pendukungnya tak peduli. Maka aksi people power yang diperhalus menjadi gerakan kedaulatan rakyat tetap berlangsung. Kerusuhan pun terjadi betapapun para elite di kubu yang kalah menyebut gerakan rakyat itu sebagai aksi damai. Mau menyebut perusuh itu sebagai penyusup dan bukan pendukung capres yang kalah? Boleh saja, bahkan pimpinan kepolisian boleh menyebut begitu. Namun roh dari kerusuhan itu tetap berawal dari hasil pemilu.
Susilo Bambang Yudhoyono, presiden ke-6 kita, punya istilah menarik tentang perseteruan dua kubu yang berlangsung panjang ini. SBY menyebutnya sebagai luka. Namun, dari Singapura, SBY menyebar video memuji Jokowi dan Prabowo setelah KPU menggelar pengumuman hasil pemilu. Prabowo dipuji karena berubah sikap dengan melakukan gugatan hasil pemilu ke MK. Kalimat SBY kepada Prabowo sangatlah indah, "Bapak adalah konstitusionalis serta seorang yang menghormati pranata hukum, juga champion of democracy, sebuah legacy yang akan dikenang dengan indahnya oleh generasi mendatang."
Pujian untuk Jokowi tak kalah indah. SBY berkata: "Saya makin bersyukur dan lega karena Bapak Jokowi telah menyampaikan akan menjadi pemimpin dan pengayom dari seluruh rakyat Indonesia." Maksud SBY, Jokowi akan memimpin rakyat, baik yang memilihnya maupun yang tak memilihnya. Dan ini kalimat SBY untuk Jokowi dan Prabowo: "Awal yang indah bagi terbasuhnya luka di antara anak bangsa, serta bagi rekonsiliasi dan bersatunya kembali anak bangsa secara terhormat." Sayangnya, demonstran tak mencerna pernyataan SBY. Bukan saja luka itu tak jadi dibasuh, tapi justru makin mengucurkan banyak darah.
Berkah apa yang bisa kita petik? Karena pemimpin kita tidak mewariskan nilai-nilai demokrasi secara benar, berkahnya adalah bagaimana kita mempersiapkan sistem pemilu yang lebih baik pada masa depan. Pilpres seharusnya menjadi momentum memperkuat kultur politik yang demokratis sekaligus bermartabat. Capres yang kalah harus bersikap kesatria mengakui kemenangan lawannya. Kalau ada bukti dicurangi, selesaikan dalam koridor hukum.
Capres yang berkukuh mengaku menang dengan menghitung sendiri perolehan suaranya membuat bingung masyarakat. Apalagi ditambah narasi bahwa kalah berarti ada kecurangan. Rakyat pun tetap terbelah dalam kubu-kubu. Ini mahakeliru karena akan mewarisi sistem politik yang tak sehat. Seorang capres yang kalah bisa membuat luka bangsa makin sulit dibasuh. Demokrasi harus melahirkan para kesatria, bukan menambah luka.