Aminuddin
Direktur Eksekutif
Literasi Politik dan Edukasi untuk Demokrasi
Komisi Pemilihan Umum telah mengumumkan hasil pemilihan presiden 2019. Pasangan calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin mendapat 85.607.362 suara (55,50 persen), sedangkan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno mendapat 68.650.239 suara (44,50 persen). Dengan demikian, Jokowi-Amin akan memimpin hingga 2024.
Banyak orang menilai Jokowi akan lebih mudah menjalankan roda pemerintahan di periode kedua ketimbang periode sebelumnya. Sebab, ia tidak lagi memiliki beban elektoral untuk maju lagi dalam Pemilu 2024. Ditambah lagi, dengan gemuknya koalisi partai politik yang mendukungnya, ada kemungkinan tidak ada kendala baginya dalam mengegolkan program andalan.
Kendati begitu, politik bukan matematika. Dalam politik, segala kemungkinan bisa terjadi. Adagium klasik "tidak ada makan siang gratis" selalu relevan dalam setiap perhelatan politik. Dalam konteks ini, kepemimpinan Jokowi di periode kedua akan tetap dihadapkan pada beban dalam menjalankan pemerintahan, setidaknya dengan beberapa alasan. Pertama, benar bahwa Jokowi tidak memiliki tanggung jawab elektoral pribadi dalam menjalankan roda pemerintahan. Namun partai pendukungnyalah yang memiliki beban elektoral masing-masing demi kepentingan Pemilu 2024. Semua partai akan mencari panggung guna menggaet perhatian publik di tengah tambunnya koalisi Jokowi.
Selain itu, koalisi partai tidak ingin kehilangan momentum untuk memelihara posisi demi kelangsungan hidupnya. Bahkan partai tidak lagi peduli akan kemungkinan buruk, seperti kartelisasi, jika mayoritas berada di tubuh kekuasaan (Richard Katz dan Peter Mair, 1994). Politik kartel memprioritaskan kepentingan jangka pendek untuk mengamankan posisi dan memelihara kelangsungan hidup kolektif partai itu sendiri.
Kedua, oposisi dalam tubuh koalisi bisa dipastikan akan lebih kencang dalam mencari panggung, baik dalam ranah eksekutif maupun legislatif. Praktik ini akan dimulai dari siapa nantinya yang akan menduduki pos-pos kementerian strategis. Sebab, kebijakan program-program prioritas Jokowi akan diimplementasikan oleh semua kementerian. Dalam kaitan dengan ini, silang pendapat antar-menteri akan mewarnai jalannya pemerintahan Jokowi yang diisi kader partai. Pengalaman di periode pertama menjadi salah satu cermin retak bagaimana pembantu Jokowi melakukan malkomunikasi dan miskomunikasi.
Lebih dari itu, bukan tidak mungkin pos-pos kementerian yang diisi elite politik partai koalisi akan sedikit terganggu apabila kebijakannya tidak memberikan insentif elektoral kepada partainya. Mereka akan mengambil peran untuk mencari insentif lain. Di luar itu, lingkaran legislatif juga akan semakin bergemuruh oleh pelbagai kritik dan interupsi terhadap pemerintah oleh partai koalisi.
Era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bisa menjadi kaca pembesar bagaimana partai koalisi begitu dinamis mengkritik pemerintah. Pada periode kedua SBY, PKS dan Partai Golkar adalah dua partai yang kerap mengkritik presiden dari dalam, terutama soal kenaikan harga bahan bakar minyak dan tarif listrik. Itu dilakukan demi memoles citra sebagai partai yang peduli rakyat, bukan lagi partai patuh statuta dan etika koalisi.
Pola-pola seperti itulah yang nantinya akan menjadi senjata bagi partai koalisi untuk menekan pemerintah dari dalam. Kebijakan yang dianggap merugikan rakyat akan dijadikan wacana utama untuk mengkritik pemerintah. Maklum saja, mereka ingin dicap sebagai partai pro-rakyat. Mereka ingin "beternak" popularitas demi tangga pemilu 2024.
Ketiga, kekuatan oposisi yang jauh di bawah dominasi partai koalisi pemerintah sebenarnya merugikan bagi Jokowi dan PDIP. Sebab, jika Jokowi dihadang oleh oposisi yang berada dari koalisi itu sendiri, ia akan kewalahan mencari dukungan di legislatif. Jika ini terjadi, koalisi yang mendukung Jokowi tinggal PDIP. Karena itu, oposisilah yang menjadi benteng terakhir yang bisa diajak berkompromi. Dalam artian, oposisi benar-benar berada dalam porsinya sebagai pengontrol pemerintah, sebagai mesin pendorong efektivitas kebijakan pengelolaan negara. Itu sebabnya, oposisi model ini sangat diperlukan untuk meluruskan niat pemerintah.
Oposisi dari dalam bisa jadi hanya ingin memoles citra untuk kepentingan jangka pendek. Mereka tidak peduli apakah kebijakan tersebut berdampak positif terhadap kepentingan publik. Bagi mereka, kepentingan pragmatis bisa menjadi pertimbangan absolut. Karena itu, energi politik oposisi dibutuhkan untuk mengontrol kebijakan Jokowi. Begitu pun dengan PDIP, yang membutuhkan energi politik oposisi. Tentu PDIP tidak ingin mengulangi sejarah kelam Partai Demokrat yang begitu kewalahan mengawal kepemimpinan SBY di periode kedua akibat interupsi yang terus terjadi dari kubu koalisi yang menusuk dari dalam.