Garuda Indonesia harus terbuka mengenai proses penyusunan laporan keuangan tahun buku 2018 yang diduga tidak sesuai dengan pendapatan riil perusahaan pelat merah tersebut. Jangan sampai laporan tersebut malah membebani perseroan di masa depan.
Garuda diketahui memasukkan pendapatan 15 tahun ke depan sebagai pendapatan 2018. Nilainya amat besar, bahkan untuk Garuda, sekitar US$ 239,9 juta atau Rp 3,47 triliun (kurs dalam laporan keuangan 14.481 per dolar AS). Pendapatan tersebut berasal dari kerja sama layanan tambahan antara PT Mahata Aero Teknologi dan anak usaha Garuda, PT Citilink Indonesia, yang diteken pada Oktober 2018 dan berlaku selama 15 tahun. Garuda, yang hingga triwulan ketiga tekor sekitar Rp 1,64 triliun, mendadak untung hampir Rp 72,6 miliar pada akhir 2018.
Memang sah-sah saja Garuda mengklaim transaksinya dengan Mahata sebagai pendapatan. Praktik semacam ini lazim dilakukan oleh perusahaan. Akuntansi mengenalnya sebagai metode akrual, yakni ketika penerimaan dan pengeluaran dicatatkan saat transaksi terjadi, bukan ketika uangnya diterima atau dikeluarkan.
Garuda baru mendapat pembayaran dari Mahata sebesar Rp 96,56 miliar. Ini cuma 2,8 persen dari total kesepakatan. Adapun sisa pembayarannya dimasukkan dalam pendapatan 2018 sebagai piutang lain-lain. Hal ini berpotensi memicu masalah neraca keuangan di masa depan, karena pendapatan dari Mahata sudah tak bisa lagi dibukukan pada tahun-tahun berikutnya, sementara pengeluaran terus berlangsung.
Garuda lebih baik meningkatkan kinerja. Tak bakal gampang, memang. Industri penerbangan sedang menghadapi masa sulit, bahkan untuk maskapai terbaik dunia sekalipun, seperti Cathay Pacific. Maskapai Hong Kong ini mengalami kerugian hampir setengah triliun rupiah pada semester pertama tahun lalu. Penyebabnya di antaranya adalah peningkatan biaya operasional akibat kenaikan biaya perawatan dan harga bahan bakar.
Bagi Garuda, ada problem kronis lainnya. Maskapai ini terus menghadapi krisis kepemimpinan. Sejak Emirsyah Satar mengundurkan diri pada Desember 2014, maskapai pelat merah ini telah berganti direktur utama tiga kali. Belakangan, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Emirsyah sebagai tersangka dugaan suap pengadaan mesin pesawat Garuda.
Sebenarnya tren kinerja Garuda membaik. Pada triwulan pertama 2019, pendapatan Garuda dilaporkan naik 36 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Maka, sungguh disayangkan upaya keras itu dirusak. Gara-gara skandal ini, harga saham Garuda di Bursa Efek Indonesia merosot 7,6 persen, menjadi Rp 462 per lembar, pada penutupan Jumat lalu.
Karena itu, langkah Badan Pemeriksa Keuangan dan BEI memeriksa kantor akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan Garuda patut didukung. Seharusnya Otoritas Jasa Keuangan juga menelusuri kasus ini, termasuk menemukan motifnya, karena lembaga inilah yang bertanggung jawab meloloskan laporan keuangan sebuah perusahaan terbuka.
Garuda Indonesia juga harus segera memberi klarifikasi kepada publik, mengingat statusnya sebagai perusahaan terbuka. Jangan sampai publik menganggap Garuda mengarang angka.