Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Tata Ulang Penguasaan Tanah

image-profil

image-gnews
Presiden Jokowi (tengah) didampingi Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil (kedua kiri), Seskab Pramono Anung (kiri), Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (kedua kanan) dan Wali Kota Jakarta Selatan Marullah Matali (kanan) menghadiri Penyerahan Sertifikat Tanah Untuk Rakyat di Lapangan Ahmad Yani, Jakarta, Selasa, 23 Oktober 2018. ANTARA/Puspa Perwitasari
Presiden Jokowi (tengah) didampingi Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil (kedua kiri), Seskab Pramono Anung (kiri), Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (kedua kanan) dan Wali Kota Jakarta Selatan Marullah Matali (kanan) menghadiri Penyerahan Sertifikat Tanah Untuk Rakyat di Lapangan Ahmad Yani, Jakarta, Selasa, 23 Oktober 2018. ANTARA/Puspa Perwitasari
Iklan

Wiko Saputra
Peneliti di Auriga Nusantara

Distribusi dan alokasi tanah yang tidak merata telah memicu masalah ketimpangan di Indonesia. Tanah yang seharusnya menjadi modal ekonomi nasional untuk perwujudan kesejahteraan rakyat sudah terkooptasi oleh kepentingan elite ekonomi. Dalam dua dekade terakhir, kita berada pada jalur "semu" pembangunan yang ditandai oleh pertumbuhan tinggi namun timpang.

Faktanya demikian. Ketimpangan penguasaan tanah sudah "akut". Tak hanya dari distribusinya, tapi juga alokasinya. Kita mesti menjabarkan datanya. Pertama, ketimpangan distribusi penguasaan tanah terlihat jelas di sektor pertanian. Hasil sensus pertanian pada 2013 menunjukkan bahwa 1,5 juta petani kaya (6,16 persen dari total rumah tangga petani di Indonesia) menguasai lahan seluas 8,63 juta hektare atau rata-rata 5,37 hektare per petani. Bandingkan dengan 14,2 juta petani gurem (55,30 persen) yang hanya menguasai 2,67 juta hektare atau rata-rata 0,18 hektare per petani.

Kedua, ketimpangan alokasi penguasaan tanah terjadi di sektor perkebunan sawit. Temuan dari Auriga pada 2018 menunjukkan bahwa 72 persen dari 16,8 juta hektare total luasan tanah yang sudah ditanami sawit dikuasai oleh korporasi. Satu grup usaha bahkan menguasai tanah sekitar 502 ribu hektare, sedangkan petani hanya menguasai rata-rata 2,2 hektare.

Ketiga, alokasi penguasaan tanah di kawasan hutan juga mengalami ketimpangan. Berdasarkan hasil evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2018, sebanyak 40,46 juta hektare lahan di kawasan hutan dikuasai oleh usaha besar, sedangkan masyarakat hanya 1,74 juta hektare.

Keempat, meski akses masyarakat terhadap usaha pertambangan sudah dibuka lewat izin pertambangan rakyat, alokasinya tidak signifikan. Hal ini berbeda dengan izin pertambangan untuk perusahaan yang alokasinya luas. Rata-rata penguasaan lahan oleh 32 pemegang kontrak karya adalah 40.753 hektare dan untuk 26 pemegang perjanjian karya pengusahaan batu bara seluas 28.575 hektare, sedangkan 171 izin pertambangan rakyat hanya menguasai rata-rata 3,2 hektare (GNPSDA KPK, 2018).

Tujuh dekade pembangunan pasca-kemerdekaan justru memekarkan praktik penguasaan tanah oleh para tuan tanah. Meski sistem feodal sudah berakhir dengan terkikisnya kekuasaan raja-raja di Nusantara, tanah masih terkooptasi di segelintir masyarakat. Hanya penguasanya yang berubah dari raja ke elite ekonomi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tak mudah menata ulang penguasaan tanah di Indonesia karena elite ekonomi yang telah menduduki tanah memegang kekuatan dalam pemerintahan, baik secara langsung memegang posisi strategis di pemerintahan maupun berada di balik layar kekuasaan (shadow government). Reforma agraria, yang menjadi pintu masuk untuk menata ulang ketimpangan penguasaan tanah, hanya menjadi simbol kebijakan "populis" pemerintahan, yang berujung pada bagi-bagi sertifikat tanpa merekonstruksi ulang penguasaan tanah.

Saat ini kita membutuhkan agenda reforma agraria yang lebih ajek. Dimulai dari niat kuat pemerintah untuk mengembalikan arah agenda reforma agraria ke jalur aslinya, yaitu mengubah ketimpangan struktur penguasaan tanah untuk kepentingan petani yang tak bertanah atau tanahnya sempit, buruh tani, dan masyarakat miskin. Jalurnya adalah meredistribusi tanah negara, yakni hak guna usaha (HGU) dan kawasan hutan, kepada mereka.

Khusus tanah yang berstatus HGU, ini harus menjadi prioritas dari tanah obyek reforma agraria. HGU yang akan habis masa berlakunya dan HGU yang ditelantarkan harus segera diredistribusikan kepada petani gurem dan buruh tani. Redistribusinya bisa berbentuk penguasaan kolektif oleh petani untuk pengembangan usaha pertanian komersial.

Terhadap kawasan hutan, tanah yang sudah terlanjur dikuasai oleh petanibukan skala komersialharus dilepaskan dari kawasan hutan dan diberikan legalitas haknya. Mereka bisa memanfaatkan tanah tersebut dengan baik dan memiliki kepastian berusaha.

Dua agenda ini, bila dijalankan dengan baik, akan bisa menurunkan ketimpangan penguasaan tanah. Meski demikian, pelaksanaannya penuh tantangan karena ada syaratnya. Syaratnya adalah datanya harus detail, birokrasinya tidak boleh korup, perlu batas waktu pelaksanaan dan kelembagaannya, organisasi di tingkat petani harus kuat, dan elite politik harus terpisah dari elite ekonomi. Kalau itu tidak ada, apa pun bentuk agenda reforma agraria hanyalah "semu".

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

3 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

6 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

22 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

23 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

43 hari lalu

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

46 hari lalu

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

46 hari lalu

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

52 hari lalu

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Terkini: Seruan Pemakzulan Jokowi karena Penyelewengan Bansos, Gaji Ketua KPU yang Melanggar Etik Loloskan Gibran

53 hari lalu

Warga membawa beras dan bantuan presiden pada acara Penyaluran Bantuan Pangan Cadangan Beras Pemerintah di Gudang Bulog, Telukan, Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis 1 Februari 2024. Presiden memastikan pemerintah akan menyalurkan bantuan 10 kilogram beras yang akan dibagikan hingga bulan Juni kepada 22 juta masyarakat Penerima Bantuan Pangan (PBP) di seluruh Indonesia. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Terkini: Seruan Pemakzulan Jokowi karena Penyelewengan Bansos, Gaji Ketua KPU yang Melanggar Etik Loloskan Gibran

Berita terkini: Seruan pemakzulan Presiden Jokowi karena dugaan penyelewengan Bansos, gaji Ketua KPU yang terbukti langgar etik meloloskan Gibran.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

53 hari lalu

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.