Wendra Purnama alias Enghok, yang diadili di Pengadilan Negeri Tangerang karena menjual dan memiliki sabu, sepatutnya dibebaskan. Ada indikasi kuat bahwa pria 23 tahun itu mengalami keterbelakangan mental, yang selayaknya bisa menjadi alasan untuk membebaskannya dari jerat kasus pidana tersebut.
Wendra dan rekannya, Hau Hau Wijaya alias Ahua, ditangkap polisi pada 25 November 2018 di depan SPBU Jalan Lingkar Luar, Cengkareng, Jakarta Barat. Dalam penangkapan itu polisi mendapati 0,23 gram sabu pada Ahua. Kepada polisi, Wendra mengaku mendapat sabu setelah membantu Ahua menjual barang haram itu. Hasil tes urine Wendra juga positif mengandung narkoba.
Polisi menjerat Wendra dan Ahua dengan Pasal 114 dan 132 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotik. Ancaman hukumannya minimal 6 tahun, maksimal 20 tahun. Namun yang dipersoalkan oleh pengacara Wendra dan selayaknya dipertimbangkan pengadilan adalah soal kelayakan kliennya untuk diadili.
Wendra menderita gangguan mental. Dia berasal dari keluarga miskin dan tinggal di kawasan Menceng, Jakarta Barat. Ayahnya kuli serabutan, ibunya hanya mengurus rumah tangga. Ia anak bungsu dari tiga bersaudara. Ia dan seorang kakaknya mengalami gangguan mental. Kondisi ekonomi yang sangat sulit membuat keluarga itu tak menyiapkan pengacara saat anaknya ditangkap. Polisi lantas menyediakan pengacara untuk Wendra, sebelum akhirnya ia ditangani oleh Karwahyu dari LBH Masyarakat sejak Januari lalu.
Karwahyu yakin kliennya mengalami masalah disabilitas intelektual karena keterbelakangan mental. Hal ini ditunjukkan dari sulitnya ia berkomunikasi. Bicaranya gagap seperti orang gagu. Kosakata yang bisa diucapkannya sangat terbatas. Tapi polisi, seperti disampaikan Kepala Satuan Narkoba Polres Metro Tangerang AKB R. Bagoes Wibisono, menyatakan Wendra tidak menunjukkan ada masalah komunikasi saat dalam proses penyidikan.
Keyakinan pengacara Wendra memang perlu diperkuat oleh keterangan dokter dan psikiater. Itulah yang sedang disiapkan LBH Masyarakat. Kondisi fisik dan mental terdakwa memang harus menjadi pertimbangan penting pengadilan untuk menentukan apakah seseorang layak dipidana atau tidak. Jika kelainan mental itu terbukti, ia seharusnya dibebaskan dari jerat pidana, karena ada ketentuan Pasal 44 KUHP yang menyatakan, "Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya yang cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana."
"Kemampuan bertanggung jawab" secara pidana merupakan syarat penting bagi seseorang untuk bisa dipidana. KUHP memang tidak memuat secara rinci soal apa saja yang disebut sebagai "kemampuan bertanggung jawab" itu. Namun sejumlah pakar hukum menafsirkan bahwa itu adalah suatu kondisi kematangan dan kenormalan psikis, antara lain kemampuan memahami tujuan faktual dari tindakannya dan kesadaran bahwa tindakan tersebut secara sosial dilarang. Jika sinyalemen "keterbelakangan mental" itu bisa dibuktikan, kondisi Wendra seharusnya menjadi alasan pemaaf dan menghapus kesalahannya meski perbuatannya tetap dikategorikan melawan hukum.
Tak ada yang memungkiri bahwa narkoba merupakan masalah serius dan memeranginya adalah keharusan. Pada 2018, berdasarkan data Badan Narkotika Nasional, ada 7 ton narkoba yang disita. Karena itu, menghukum para penjualnya, terutama bandarnya, juga penting untuk memberikan efek jera dan melindungi agar korban tak terus bertambah. Menurut BNN, 24 persen pengguna narkoba adalah pelajar. Namun semangat besar untuk memerangi narkoba juga harus tetap menghormati undang-undang, salah satunya dengan tidak mengirim ke penjara orang yang sebenarnya tak layak diproses hukum.