Keputusan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengangkat anggota keluarga dan orang dekatnya menjadi anggota Tim Akselerasi Pembangunan (TAP) banyak mendatangkan mudarat. Kerap disebut punya prospek untuk pentas di level nasional, Emildemikian ia biasa disapaseharusnya menjaga diri dari keputusan yang bisa mencoreng reputasi.
Tim Akselerasi bentukan Ridwan menjadi sorotan lantaran diisi adik kandung, sepupu, dan bekas anggota tim suksesnya. Adik Emil, Elpi Nazumzzaman; dan sepupunya, Wildan Nurul Padjar, menjadi anggota Dewan Eksekutif TAP Jawa Barat itu. Adapun bekas wakil ketua tim kampanye Ridwan dalam pemilihan gubernur Jawa Barat tahun lalu, Arfi Rafnialdi, menjadi ketua harian tim beranggotakan 19 orang tersebut.
Penunjukan sanak famili untuk mengisi jabatan khusus berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Keberadaan anggota keluarga di lingkaran inti pemerintahan rawan membelokkan komitmen seorang pejabat publik dari yang seharusnya mengutamakan kepentingan publik menjadi membela kepentingan pribadi.
Sebagai gubernur baru, Ridwan Kamil mungkin saja memerlukan pelbagai masukan dari tim ahli yang ia percayai. Tak ada larangan untuk membentuk tim seperti itu. Syaratnya, tim itu harus memperhatikan kompetensi, transparansi, akuntabilitas, dan aturan. Masalahnya, seperti terjadi di banyak daerah, pembentukan tim seperti itu bukanlah kebutuhan mendesak, melainkan cara pejabat terpilih untuk berterima kasih kepada tim suksesnya.
Demi efisiensi, untuk melakukan percepatan ataupun terobosan pembangunan, kepala daerah sedapatnya menggerakkan perangkat birokrasi yang sudah ada. Pembentukan tim khusus malah memberi kesan kepala daerah tak mempercayai birokrasi di bawahnya. Bisa pula muncul kesan sebaliknya: kepala daerah tak percaya diri untuk mengontrol mesin birokrasi.
Bila tak dikelola dengan baik, keberadaan tim khusus yang langsung bertanggung jawab kepada kepala daerah rawan memicu konflik internal. Alih-alih mempercepat, tim khusus seperti itu malah akan memperlambat perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Penguasaan jabatan khusus oleh anggota keluarga dan orang dekat juga rawan menabrak Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pasal 22 undang-udang ini menegaskan, penyelenggara negara yang secara melawan hukum menguntungkan kepentingan keluarganya atau kroninya di atas kepentingan publik bisa dihukum maksimal 12 tahun dan denda Rp 2 miliar.
Bila tidak dihentikan, praktik mengangkat sanak famili dapat meluaskan nepotisme. Pengalaman di sejumlah daerah, misalnya di Provinsi Banten, menunjukkan bahwa nepotisme dapat berubah menjadi politik dinasti yang koruptif.
Belum terlambat bagi Emil untuk membatalkan pengangkatan anggota keluarganya dalam Tim Akselerasi Pembangunan. Emil juga harus membuktikan bahwa tim yang ia bentuk efektif dan efisien dalam mempercepat pembangunan di Jawa Barat. Bila tidak, tim itu sebaiknya dibubarkan saja.