Aksi bom bunuh diri Solimah bersama anaknya yang berusia 2 tahun menunjukkan betapa mengerikan dampak penyebaran paham radikal. Tak cukup memerangi terorisme lewat penangkapan, pemerintah perlu menggencarkan program pencegahan agar tragedi seperti ini tidak terus berulang.
Solimah nekat meledakkan bom ketika rumahnya di Sibolga, Sumatera Utara, dikepung polisi, dua hari lalu. Istri terduga teroris Husain alias Abu Hamzah ini menolak menyerahkan diri setelah sang suami ditangkap. Menurut polisi, Husain merupakan koordinator wilayah Jamaah Ansharud Daulah (JAD). Polisi menemukan 300 kilogram bahan peledak dan empat bom siap ledak di rumahnya.
JAD adalah kelompok yang berbaiat kepada gerakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Kelompok ini merupakan salah satu jaringan ISIS di Indonesia. Jaringan terorisme di negara kita dimotori antara lain oleh ratusan anggota organisasi ISIS asal Indonesia yang pulang dari Suriah. Sejumlah bekas narapidana terorisme pun diduga masih berperan besar dalam menyebarkan paham radikal.
Kasus bom bunuh diri di Sibolga makin memperlihatkan bahwa sel-sel terorisme masih terus aktif di sejumlah daerah. Penggerebekan rumah Husain merupakan pengembangan dari penangkapan terduga teroris di Lampung dan Kalimantan Barat beberapa hari sebelumnya. Awal Februari lalu, polisi juga menangkap seorang anggota JAD di Jawa Tengah.
Pemerintah perlu mengefektifkan program pencegahan karena upaya penangkapan tidaklah cukup untuk membasmi terorisme. Nyatanya, aktivitas sel-sel terorisme tak kunjung surut. Tahun lalu, mereka juga beraksi antara lain lewat bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya pada Mei 2018. Teror ini diduga masih berkaitan dengan kerusuhan di Rumah Tahanan Markas Komando Brimob, Kelapa Dua, Depok, beberapa hari sebelumnya.
Undang-Undang Terorisme yang telah direvisi tahun lalu sebetulnya telah memuat program pencegahan yang cukup detail, meliputi kesiapsiagaan, kontraradikalisasi, dan deradikalisasi. Program kesiapsiagaan dilakukan lewat pemberdayaan masyarakat, peningkatan kemampuan aparat, dan pemetaan wilayah yang rawan terorisme. Adapun program kontraradikalisasi ditujukan kepada kelompok orang yang rentan terpapar paham radikal.
Program deradikalisasi, yang sering dikritik lantaran kurang efektif, berbeda dengan kontraradikalisasi. Program deradikalisasi lebih ditujukan kepada tersangka, terdakwa, narapidana, bekas narapidana kasus terorisme, dan orang yang benar-benar sudah terpapar ajaran terorisme.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme perlu sungguh-sungguh melaksanakan semua program yang diamanatkan undang-undang itu. Tak hanya berfokus pada program deradikalisasi, tapi juga memperkuat program pencegahan yang lain. BNPT perlu bekerja sama dengan kementerian atau lembaga lain untuk menangkal penyebaran ajaran terorisme, termasuk lewat kurikulum pendidikan.