Penangkapan dan penetapan Robertus Robet sebagai tersangka oleh kepolisian adalah kesewenang-wenangan yang harus dilawan. Jika didiamkan, tindakan semacam ini bisa menimpa siapa saja dan tentu saja mengancam kebebasan berpendapat di negeri ini. Polisi juga tidak memiliki landasan hukum yang kuat. Karena itu, Robertus harus dibebaskan tanpa syarat dan kasusnya dihentikan.
Robertus ditangkap pada Rabu lalu dan dijadikan tersangka karena pidatonya dalam Aksi Kamisan, di Jakarta, pekan lalu. Dalam aksi yang menyoroti rencana pemerintah memperluas jabatan sipil untuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) itu, Robertus menyampaikan refleksi serta kritik bahwa kebijakan tersebut bisa mengancam kehidupan demokrasi. Dia mengajak yang hadir agar selalu menentang gagasan semacam itu.
Polisi beralasan pidato Robertus merupakan tindak pidana penghinaan dan ujaran kebencian terhadap penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia. Dia dituding melanggar Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dan Kitab Undang-Udang Hukum Pidana.
Padahal apa yang dilakukan Robertus dalam Aksi Kamisan tersebut sama sekali tidak memenuhi unsur-unsur yang disebutkan dalam semua pasal penjerat itu. Dari unsur ujaran kebencian (Pasal 28 UU ITE), penghinaan (Pasal 207 KUHP), hingga penyebaran berita bohong penyebab keonaran (Pasal 14 dan 15 UU Peraturan Hukum Pidana), semua tak terpenuhi.
Misalnya tuduhan mengenai ujaran kebencian, dalam undang-undang disebutkan perbuatan itu harus bersifat propaganda dan penghasutan, bukan sekadar "penghinaan" atau "tuduhan". Unsur-unsur itu nyatanya tak terlihat dalam kegiatan yang dilakukan Robertus saat Aksi Kamisan.
Dalam Aksi Kamisan itu, Robertus menggunakan haknya sebagai warga negara untuk menyatakan pendapat, yang dijamin dan dilindungi Pasal 28 UUD 1945. Saat itu ia mengutarakan kekhawatirannya, jika militer diperbolehkan kembali menduduki jabatan sipil, demokrasi akan terancam.
Selain itu, Robertus adalah dosen di Universitas Negeri Jakarta, sehingga apa yang ia lakukan dalam Aksi Kamisan bisa dipandang sebagai perwujudan tugas akademis menjalankan salah satu fungsi Tridharma Perguruan Tinggi, yakni pengabdian kepada masyarakat. Dia sedang melakukan pembelaan atas kepentingan khalayak, yaitu merawat demokrasi.
Walhasil, dari aspek hukum, terlihat penetapan Robertus sebagai tersangka sangat dipaksakan. Sedangkan dari aspek politik, ini sudah termasuk mengancam kebebasan berpendapat. Karena itu, polisi mesti membebaskan Robertus dari segala tuduhan.
Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah pun sebaiknya segera menghapus pasal-pasal karet dalam perundang-undangan yang dapat dipakai mengkriminalkan dan membungkam warga. Jika tidak, iklim demokrasi yang telah susah payah digapai lewat reformasi akan hilang, takkan ada lagi tempat untuk kebebasan berpendapat, dan kita kembali hidup dalam represi ala era Orde Baru.